NewsBalikpapan –
Perkebunan kelapa sawit dituding penyebab utama kerusakan lingkungan. Limbah cair dan gas buang crude palm oil (CPO) turut dikaitkan dengan pemanasan global sedang menggejala saat ini.
“Tudingan miring terus ditujukan kepada perkebunan kelapa sawit,” keluh Manager Bio Gas PT Rea Kaltim Plantations, Takbir, Jumat, (16/11/2018).
Penggiat lingkungan memang bergantian mengkritik industri perkebunan kelapa sawit yang dianggap tidak ramah lingkungan. Mereka menyoroti soal pengelolaan limbah sawit yang didefinisikan sebagai palm oil mills effluent (POME) dan gas buang metana.
“Kalau air sungai berwarna hitam, tuduhan langsung ditujukan kepada kami. Padahal belum tentu juga kami penyebabnya. Banyak faktor menyebabkan air sungai menjadi hitam,” papar Takbir.
Ini pula melatari kenapa Rea Kaltim akhirnya lebih total dalam pengelolaan limbah. Perusahaan kelapa sawit di Kutai Kartanegara ini membangun dua unit instalasi bio gas plan senilai Rp 100 miliar.
“Kami bertahap membangun dua instalasi dinamakan Cakra Bio gas Plan dan Perdana Bio gas Plan mulai 2012 silam,” ujar Takbir.
Hasilnya pun sudah bisa dinikmati sekarang ini. Rea Kaltim memisahkan 2.800 ton POME antara gas metana dan ampas menjadi kompos.
“Instalasi ini merupakan proses fermentasi POME menghasilkan gas metana dan ampas POME. Gas ini yang menjadi bahan bakar penggerak turbin pembangkit menghasilkan daya 7 MW listrik,” ungkapnya.
Daya listrik ini lah yang menjadi energi mandiri site perkebunan yang memiliki luas 32 ribu hektare. Secara otomatis penghematan perusahaan menjadi maksimal serta mendongkrak pendapatan perusahaan Rp 25 miliar / tahun.
Bukan hanya itu, warga area site perkebunan pun bisa menikmati aliran listrik perkebunan secara tidak langsung. Rea Kaltim menjual daya listrik ke PLN guna mengaliri kawasan di Desa Tebagan, Kembang Janggut dan Kenongan di Kukar.
“Daya listrik ini sebagian dijual ke PLN 900 kwh dengan harga Rp 1.050. Pendapatan perusahaan mencapai Rp 900 juta per bulan,” paparnya.