Seorang siswa SMA, Rasya (Maxime Bouttier) adalah seorang remaja tanggung yang sedang mencari jati diri sehingga terjebak dalam drama percintaan dengan pekerja sex komersial (PSK) jalanan, Eva (Whulandary Herman). Keduanya punya latar belakang social ekonomi yang jauh bertolak belakang.
Rasya yang lugu dan culun terperangkap cinta pertamanya pada sosok Eva yang blak blakan dan mandiri untuk bertahan hidup. Drama film percintaan kisah nyata ini mencoba mengangkat sisi lain remaja di kota kecil atau tepatnya di Balikpapan Kalimantan Timur.
“Kisah percintaan sudah popular di media Kaskus. Saya hanya mencoba menulis ulang ceritanya dalam bentuk novel,” kata Penulis Novel Bidadari Terahir, Agnes Davonar di Balikpapan, Selasa (8/9).
Kisah diatas hanyalah seklumit cerita film Bidadari Terakhir yang rencananya diputar di bioskop seluruh Indonesia pada 10 September nanti. Percintaan anak SMA dan PSK di suatu kota kecil yang akhirnya harus berakhir non happy ending bagi keduanya.
“Sosok Eva meninggal karena penyakit kelamin dan Rasya biarpun sudah move on namun masih patah hati hingga kini,” ungkap Agnes menceritakan sumber inspirasi ceritanya yang kini memilih menetap di Berau.
“Rasya masih ada di Berau dan dia meminta identitasnya agar tidak dipublikasikan,” imbuhnya.
Whulandary sebagai pemeran Eva mengungkapkan film ini punya keistimewaan tantangan tersendiri dibandingkan cerita lain yang mengangkat cerita prostitusi ke dunia layar lebar. Ada pesan moral tersendiri dalam kisah Eva yang terperosok ke limbah hitam atas himpitan factor ekonomi keluarga.
“Pesan moralnya adalah manusia tidak bisa meraih semua impian diinginkannya. Terkadang kita harus menerima kenyataan pahit yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan,” ujarnya.
Bidadari Terakhir menjadi film pertama Whulandary yang kali ini dipasangkan dengan idola baru remaja Indonesia, Maxime Bouttier. Pemilihan Maxime memerankan sosok Rasya bisa jadi bukan suatu kebetulan mengingat masa kecilnya memang sempat dihabiskan di Balikpapan.
“Saya masih ingat logat logat Balikpapan, seperti iya kah, iya lah,” tuturnya sambil tersenyum.
Namun tetap saja Maxime harus berjuang keras demi menghayati peran Rasya yang kala itu baru mengenal kata cinta. Menurutnya film Bidadari Terakhir mencoba menawarkan sisi cerita percintaan berbeda dibandingkan film film berlatar cerita remaja kota besar.
Sutradara film Bidadari Terakhir, Awi Suryadi menyatakan syuting film hampir seluruhnya mengambil setting keindahan Kota Balikpapan. Sutradara muda ini memang sengaja menonjolkan keindahan Balikpapan serta keberagaman budaya khas Kalimantan.
“Setidaknya 80 persen pengambilan gambarnya di Balikpapan. Sisanya kami ambil di Bogor dan Samarinda,” tuturnya.
Selama proses pengambilan gambar selama 3 minggu, Awi mewanti wanti seluruh pemainnya agar bisa melepaskan diri dari kebiasaan logat bahasa Jakarta. Strategi ini dimaksutkan agar film Bidadari Terakhir bisa diterima seluruh pecinta film di Indonesia dengan tidak meninggalkan asal usulnya yan bersetting di Balikpapan.
“Kami pakai bahasa Indonesia yang baku. Sehingga tidak ada bahasa terlalu daerah tapi juga tidak ada logat Jakarta lu, lu, gwa, gwa,” ujarnya.