Karya Bermakna Difabel di Bontang

NewsBalikpapan –

Tidak banyak anak muda memilih jalan hidup ditempuh Anggi Valentino Goenadi (30). Lulusan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang yang bergelut bersama anak berkebutuhan khusus (ABK) atau akrab disapa kaum difabel.

Saat semua orang terpaku duniawi – pria tambun ini memilih mendarmakan hidupnya pada kegiatan sosial. Lima tahun terakhir, Anggi fokus mengelola Inkubator Bisnis Permata Bunda, Bontang Kalimantan Timur.

“Jalan hidup saya disini. Banyak yang menganggap saya gila, sinting dan lain lain. Tapi keputusan saya sudah bulat,” kata Anggi saat ditemui di Inkubator Bisnis Permata Bunda, Jumat (9/10/2018).

Inkubator Bisnis Permata Bunda merupakan pengembangan sekolah luar biasa (SLB) dengan nama yang sama. Tujuan utama pembentukan inkubator bisnis, agar lulusan SLB Permata Bunda mampu berkarya di masyarakat.

“Lulusan SLB biasanya tidak ada yang mau menampung. Inkubator Bisnis Permata Bunda melatih anak ABK serta membangun usaha sendiri yang memperkerjakan lulusannya,” ungkap Anggi.

Anggi mengatakan, Inkubator Bisnis Permata Bunda memberdayakan potensi bakat para ABK. Ia hendak merubah paradigma masyarakat yang memvonisnya hanya sebagai beban,  menjadi anak berbakat khusus.

“Contohnya Agus Ferdiansyah (17). Meskipun tuli, dia punya energi besar. Sehingga pernah meraih medali emas Kejurda Jujitsu di Bontang,” ungkapnya.

Agus Ferdiansyah sendiri merupakan lulusan SLB Permata Bunda yang setahun terakhir magang di program inkubator bisnis.

Awalnya, Anggi pun tidak terbersit niat menceburkan hidupnya dalam pekerjaan sosial. Seperti anak muda lainnya, pria kelahiran Bontang ini memilih berkarir di PT Black Bear Resources Indonesia.

Jabatan terakhir, Legal & Public Relations PT Black Bear Resources Indonesia di Bontang.

“Saya bahkan memandang remeh pekerjaan mertua saya. Kebetulan beliau pemilik SLB Permata Bunda,” paparnya.

Saat itu, Anggie beranggapan, bisnis keluarganya itu adalah pekerjaan sia sia. Lebih banyak buntungnya dibanding untungnya.

“Bagaimana tidak buntung ? Puluhan muridnya dan hanya  3 orang yang rutin bayar SPP. Sisanya nombok uang pribadi. Padahal mertua saya juga yang menjamin pengadaan buku, operasional harian sekolah hingga makan siang,” keluhnya.

Tapi semua berbalik 180 derajat saat ajal menjemput mertuanya. Praktis sudah ada tidak lagi yang mengurusi SLB Permata Bunda.

“Istri saya terpaksa keluar kerja, akhirnya saya juga ikut mengundurkan diri. Amanat mertua untuk meneruskan SLB ini agar terus berjalan. Semua itu terjadi 2013 silam,” ungkapnya.

Pikiran Anggi baru terbuka kala berinteraksi dengan Rizky Erfanda Wahyu, murid SLB yang berasal keluarga broken home.  Pengidap tuli sejak lahir ini mengeluhkan masa depannya jelang kelulusan dari SLB Permata Bunda.

“Dia mengeluh, kalau lulus dari SLB nanti, siapa yang akan membelikannya beras ? Disini saya tersadar bahwa hidup mereka sangat tergantung dengan kami,” sebutnya.

Berawal dari itu, Anggi menyadari harus ada menciptakan lapangan kerja yang berpihak bagi kaum difabel. Ide itu menjadi embrio pembentukan sarana Inkubator Bisnis Permata Bunda.

Suatu sarana merubah pola pandang masyarakat soal permasalahan ABK. Selama ini harus diakui, kaum difabel menjadi kelompok manusia yang termajinalkan di masyarakat.

“Setiap tahun ada siswa SLB kami yang lulus. Terus mau kemana mereka ? Tidak ada yang menampung, harus kami sendiri yang menciptakan lapangan kerja,” tegasnya.

SLB Permata Bunda menampung 42 orang ABK berbagai kelompok keterbatasan. Akhirnya, sebanyak 37 diantara lulusan SLB ini melanjutkan pelatihan serta pemagangan program inkubator bisnis.

Empat tahun usianya, Anggi menyebutkan, program inkubator bisnis sukses menciptakan 4 lini usaha produktif. Usaha bisnis seperti pola wallpeper, merchandise, katering hingga jasa cuci motor menyumbang pemasukan kotor Rp 700 juta per tahunnya.

“Empat lini usaha ini sudah menghasilkan keuntungan,” ungkap mantan atlit beladiri jujitsu ini.

Inkubator bisnis melatih ABK hingga magang di lini usaha dimiliki. Tugas tenaga pendamping dan sukarelawan menemukan bakat dimiliki masing masing ABK ini.

“Setahun pelatihan dan setahun lagi magang. Teman teman disini punya kemampuan yang bisa dikembangkan,” ungkap Anggi.

Barulah setelah itu, Anggi mengontrak secara profesional para ABK sesuai gaji upah minimum kota (UMK) Bontang. Tenaga pendamping bahkan membantu mengelola keuangan mereka.

“Kami buatkan rekening atas nama mereka. Setiap pencairan rekening juga harus sepengetahuan kami. Ini agar mereka menjadi mandiri dimasa depan,” tegasnya.

“Ada enam orang yang aktif bekerja dengan gaji Rp 1,9 juta,” imbuhnya.

Secara bertahap, Anggi berharap ABK mampu menciptakan bisnisnya sendiri tanpa tergantung pihak lain. Inkubator Bisnis Permata siap membantu permodalan serta peluang usaha.

“Tujuan akhirnya adalah mereka membuka usahanya masing masing dan tidak tergantung orang lain. Rizky Erfanda (22) sudah membuka usaha sendiri pembuatan mairchandise,” tuturnya.

Meskipun begitu, Anggi mengaku program bisnisnya sempat terpuruk pelemasan perekonomian di Kaltim. Berkat bantuan permodalan PT Pupuk Kaltim, sambungnya, usaha bisnisnya mampu bertahan dan berkembang.

“Orderan bisnis sepi hingga kami berpikir untuk merumahkan sebagian teman teman disini. Untungnya ada PKT yang membantu modal usaha kami,” sambungnya.

Kebetulan pula, PKT punya program corporate social responsibility (CSR) menjangkau kaun difabel. Setahun ini saja, anak perusahaan PT Pupuk Indonesia membantu pengadaan peralatan kerja senilai Rp 200 juta.

“Kami membantu program ini sejak 2016 dengan pengadaan bangunan dan peralatan kerja bagi ABK disini,” papar staf  CSR PKT, Nikita Adriyani.

Namun peran terbesar perusahannya, menurut Nikita, soal komitmen PKT dalam pemanfaatan produk dan jasa kaum difabel. Komitmen yang dilaksanakan tingkat direksi hingga seluruh karyawan.

“Pimpinan selalu meminta kami agar memanfaatkan jasa teman teman disini,” katanya.

Masalahnya, kaum difabel belum memperoleh ruang hampir di seluruh Indonesia. Diskriminasi sudah dialami mereka dimasa duduk dibangku sekolah paling dasar.

“Contohnya saya ini yang menderita kerabunan mata namun sudah disuruh masuk sekolah luar biasa saja. Padahal saya masih bisa mengikuti mata pelajaran seperti biasa,” keluh penyandang difabel Balikpapan, M Nur Yasin.

Sekolah sekolah umum, menurut Yasin, semestinya memberikan kesempatan sama baik kepada kaum difabel dengan siswa lain. Guru bisa memberikan kemudahan tersendiri seperti kesempatan menyalin pelajaran hingga pembuatan soal khusus.

Padahal, permasalahan mendasar kaum difabel adalah rendahnya jenjang pendidikan mereka. Mayoritas sekolah sekolah umum enggan menampung siswa yang memiliki gejala keterbatasan fisik siswanya.

 “Guru enggan repot mengajar anak disabilitas, alasannya macam macam dengan mengaku belum mengantongi sertifikasi pengajarannya dan lain lain,” ungkap pria yang kini mengajar di SLB Balikpapan.

Permasalahannya, keberadaan SLB Terbatas di masing masing kota. Contohnya di Balikpapan yang hanya memiliki tiga SLB bagi warganya.

“PBB pernah menyampaikan dari total seluruh penduduk sebanyak 10 persen diantaranya adalah penyandang disabilitas,” katanya.

Berita Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *