Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Balikpapan Kalimantan Timur memindahkan sebanyak 77 pengungsi pasca kisruh sepekan silam. Para pengungsi berbagai negara ini sepertinya jenuh terisolasi di rumah penampungan yang berada di pinggiran kota Balikpapan.
“Kami pindahkan mereka ke rudenim lain, rencananya minggu ini,” kata Kepala Rudenim Balikpapan, Irham Anwar, Rabu (9/5).
Irham menyatakan, prilaku pengungsi asal Afganistan, Somalia dan Iran kian rusuh selama sembilan bulan terakhir ini. Mereka secara berkala menunjukan sikap pemberontakan dengan menolak program kemasyarakatan dilakukan Rudenim Balikpapan.
“Seperti menolak acara senam pagi hingga berenang bersama di pantai Balikpapan,” paparnya.
Puncaknya, pengungsi menolak jatah sarapan sudah disiapkan berupa roti layak santap dari lembaga donor. Hingga melakukan aksi perusakan asset publik Rudenim Balikpapan seperti perangkat 27 CCTV, taman, meja, kursi dan corat coret dinding bangunan.
“Mereka juga melakukan aksi demo di dalam gedung Rudenim Balikpapan,” ungkap Irham.
Kesabaran petugas Rudenim Balikpapan habis juga akhirnya dengan mentransfer sebagian pengungsi ke rudenim di Makassar, Tanjung Pinang Kepulauan Riau dan Kalideres Jakarta. International Organizaton of Migration (IOM) membantu seluruh biaya pemindahan pengungsi ke sejumlah lokasi baru ini.
Irham menyebutkan, tiga lokasi baru ini memiliki fasilitas commnity house penempatan pengungsi pindahan Balikpapan. Kota Balikpapan memang menolak keberadaan pengungsi yang dianggap menambah beban permasalahan sosial masyarakat setempat.
“Mereka bisa tinggal di community house dengan aturan lebih longgar dibandingkan disini,” tuturnya.
Rudenim Balikpapan menetapkan hanya pengungsi berprilaku baik saja yang memperoleh kesempatan pemindahan ke sejumlah lokasi baru. Sebaliknya pengungsi yang kerap berbuat onar, kata Irhan memperoleh kesempatan pemindahan paling terakhir.
Irham mengantongi sekitar tujuh nama pengungsi yang kerap bermasalah yakni Mahdai Alidada, M Gulzani, M Eksanulohzahil, Reza Aseprohimi, Syahid Arif, Ali Nadiki dan Ali Reza Fachori. Mereka seluruhnya pengungsi asal Afganistan yang diduga menjadi provokator setiap aksi kekisruhan Rudenim Balikpapan.
Selain itu, Rudenim Balikpapan melaporkan aksi perusakan peralatan kantornya ke Polresta Balikpapan. Tujuh nama tersebut diatas menjadi pihak tertuduh pemeriksaan penyidik kepolisian.
“Merusak fasilitas negara merupakan pelanggaran hukum di Indonesia, silakan polisi yang menanganinya. Pengungsi yang bermasalah kami tahan dulu bila sewaktu waktu diperiksa polisi,” tegasnya.
Salah seorang pengungsi, Zamon Mirdidda menyebutkan, rekan rekannya sudah jenuh bertahun tahun terkungkung dibalik teralis besi rumah penampungan. Pengungsi asal Afganistan merasa punya hak hidup bebas tinggal di negara orang lain.
“Kami bukan pelaku kriminal, kami tidak akan ganggu orang lain,” ungkapnya.
Zamon memang rajin menunggu tamu di Rudenim Balikpapan guna menyampaikan aspirasinya. Ia adalah salah satu pengungsi Afganistan menyusul krisis politik terjadi di negara Asia tengah ini.
Soal perusakan asset rudenim, Ramon menolak disalahkan dengan dalih peristiwanya terjadi malam hari disaat semua pengungsi tidur.
Polresta Balikpapan sudah memproses laporan soal perusakan fasilitas umum rudenim. Penyidik memeriksa 10 saksi saksi berasal dari petugas di lapangan maupun pengungsi Rudenim Balikpapan.
“Masih proses penyelidikan penyidik kami dengan memeriksa saksi saksi,” kata Kepala Polres Balikpapan, Ajun Komisaris Besar Wiwin Fitra.
Polresta Balikpapan terus mengumpulkan bukti bukti dan keterangan saksi saksi guna mengungkap kasus perusakan Rudenim Balikpapan. Wiwin mengharapkan saksi saksi koporatif membantu proses penyelidikan dilakukan penyidik di lapangan.
“Saksi saksi memang semestinya tetap ada di Balikpapan membantu proses pemeriksaan,” paparnya.
Gelombang pengungsi membanjiri Balikpapan sejak penghujung akhir tahun 2014 silam. Mereka terus berdatangan menyusul peresmian penggunan Rudenim Balikpapan.
Indonesia bukanlah negara tujuan pengungsi yang berharap memperoleh suaka politik dari Australia maupun Selandia Baru. Pada prosesnya, mereka akhirnya terdampar di Indonesia menyusul penolakan negara tujuan di ASEAN.
Awal pemanfaatannya, Rudenim Balikpapan sesak oleh 281 pengungsi asal Afganistan, Rohingya, Pakistan dan Philipina. Padahal bangunanya dirancang hanya untuk penempatan 144 pengungsi dalam 24 kamar.
Pengungsi hanya dipisahkan berdasarkan perbedaan agama maupun kebangsaannya. Pemilahan antar pengungsi untuk menghindarkan gesekan diantara mereka.
Pemerintah daerah meminta arus kedatangan pengungsi dihentikan memasuki tahun 2015. Kota Balikpapan khawatir keberadaan pengungsi berdampak langsung terhadap peningkatan angka kriminalitas setempat.
Berjalannya waktu, Rudenim Balikpapan menyisakan sebanyak 149 pengungsi asal Afganistan, Iran dan Somalia yang masih bertahan. Mereka inilah yang diantaranya yang berulah membuat keributan Rudenim Balikpapan.
Untungnya pula, mayoritas warga Balikpapan memiliki rasa toleransi tinggi menyikapi perbedaan dalam beragama. Kedewasaan dalam beragama ini yang membuatnya tidak terlalu mempersoalkan keberadaan pengungsi beraliran Syiah di Balikpapan.