Rumah mbah Untung Suyanto di RT 02 Kelurahan Argosari Amburawang Kabupaten Kutai Kartanegara Kalimantan Timur terlihat lengang. Bangunan kayu klir biru ini menjadi saksi bisu seklumit cerita pemberangusan Partai Komunis Indonesia (PKI) di bumi etam semasa tahun 1970 an.
Penghuninya, Kopral Dua Untung Suyanto baru saja dipanggil Sang Khaliq memasuki bulan November lalu, tepat memasuki usianya ke 77 tahun. Pria sepuh yang terlihat tegap di usia senjanya ini meninggalkan istri dan seorang anaknya yang sudah menginjak dewasa.
“Mbah Untung Suyanto sudah meninggal bulan November lalu. Sakit tua saja,” kata Aloysius Paelan (79 tahun), salah seorang tahanan politik Argosari dicuplik dari Beritagar, Minggu (3/12).
Kepergian Untung Suyanto menjadikan saksi sejarah pembasmian PKI di Kaltim makin menipis. Hingga kini hanya tersisa 20 orang eks tapol yang tidak seluruhnya pula mampu berkomunikasi dengan baik.
“Dari sebelumnya terdapat ratusan orang dan sekarang tinggal 20 orang saja. Itupan hanya 3 orang bisa berkomunikasi dengan baik,” papar Paelan seraya menarik nafas panjang.
Mbah Untung memang terkenal seantero Kelurahan Argosari. Selama bertahun tahun, dia menjadi corong perkampungan PKI dalam menyuarakan penindasan eks tapol. Mayoritas mereka adalah korban salah sasaran yang tidak terkait langsung jaringan partai terlarang di Indonesia ini.
Untung Suyanto menjadi salah satu contoh apes dikaitkan jaringan PKI atas alasan tidak logis. Kegemarannya akan olahraga bola voli menggiringnya dicap antek Pemuda Rakyat, salah satu organisasi sayap PKI. Lapangan bola voli langganannya ternyata milik salah seorang tokoh Pemuda Rakyat di Balikpapan.
Selama hampir setengah abad – Untung Suyanto tidak pernah lelah menyuarakan penderitaan ribuan korban pemberangusan partai merah di Kalimantan. Baik mereka yang dieksekusi langsung, dihilangkan ataupun diasingkan di Argosari sejak tahun 1977.
Mereka itu tapol korban operasi pembersihan Laksamana Sudomo di Kaltim zaman itu. Orang dekat Presiden Soeharto ini memegang Komando Pengendalian Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) seluruh wilayah Indonesia.
Adapun Argosari dulunya adalah hutan belantara berjarak tiga jam perjalanan dari Balikpapan, kota utama di Kaltim. Saat itu,tidak ada apapun disitu selain kerimbunan hutan Kalimantan dan kesunyian.
“Kami yang berstatus prajurit TNI/Polri diasingkan disini dengan penjagaan ketat dari tentara. Terdapat 34 orang mantan tentara dan polisi yang dipaksa babat hutan disini,” papar Paelan yang berpangkat kopral, kala memanasnya konflik politik 1965 ini.
Puluhan orang ini membuka hutan seluas 612 hektare layaknya romusa – tanpa bayaran dibawah todongan bedil tentara. Mereka memperoleh jatah ransum sekedarnya seperti lazim bisa dinikmati tahanan kriminalitas pada umumnya.
“Jatahnya ransum dengan menu nasi dan sayuran sekedarnya saja. Saya ambil jatah setiap malam hari agar terkumpul cukup banyak untuk seluruh keluarga,” papar Paelan yang saat itu sudah berkeluarga lagi dan memiliki tiga orang anak.
“Saya kadang berburu mencari burung, rusa dan babi untuk tambahan lauk makanan. Jatahnya ransumnya tidak mencukupi untuk kami sekeluarga,” imbuhnya.
Memasuki tahun 1982 ada tambahan penghuni baru 160 orang tapol dari kalangan sipil. Mereka ini mayoritas berasal dari para pegawai Pertamina dan organisasi masyarakat dituduh berafiliasi dengan PKI.
“Akhirnya dusun ini menjadi penuh dengan tapol mantan TNI/Polri dan sipil, kami tinggal di barak barak bersama membuka hutan. Merintis hutan dan membangun rumah yang kini kami tempati ini,” ujar Paelan.
Di dusun ini pula, Paelan membuka lembaran baru dengan menikahi wanita lokal setempat. Ia sudah patah arang nasib istri dan kedua orang anaknya yang pergi entah kemana.
“Saya nikah lagi dengan perempuan lain yang bersedia diajak menderita disini. Pernikahan ini diberikan tiga orang anak,” tuturnya.
Selama puluhan tahun pula, Paelan kehilangan jejak istri dan anaknya yang belakangan diketahui sudah membangun keluarga baru di Balikpapan. Baru baru ini pula anaknya sudah sudi mengakuinya sebagai ayah kandungnya.
“Mereka berdua sudah mengakui keberadaan saya, meskipun hanya seorang saja yang mau menemui saya di Argosari,” keluhnya.
Memang Paelan kini hanyalah seorang petani yang menggantungkan seluruh hidupnya dari hasil pohon karet di belakang pekarangan rumahnya. Hidupnya sudah tenang menikmati masa tua bersama istri, anak, menantu berikut cucu cucunya.
Namun kobaran amarah masih tersirat kala disinggung peristiwa yang merubah jalan hidupnya. Hingga kini, Paelan masih tidak mengetahui kenapa dirinya turut disangkut pautkan peristiwa pemberontakan PKI di Jakarta.
Paelan ditangkap saat menghadiri pergantian piket jaga asrama di Kodam Mulawarman.
“Saya seperti biasa menghadiri pergantian piket jaga di asrama. Namun di pelataran sudah membujur mayat rekan sesama tentara, bernama Tamsir. Disitulah mendadak saya ikut ditangkap juga. Semua itu terjadi tahun 1970 lalu,” ungkapnya.
Semenjak itu pula, Paelan harus mengalami berbagai penyiksaan agar mengaku menjadi kaki tangan PKI. Selama berbulan bulan, dia sudah hafal bentuknya penyiksaanya dari sekedar pukulan tangan kosong, tendangan, dipukul meja hingga disetrum listrik.
“Gigi depan saya sampai rontok semua terkena tendangan sepatu lars tentara. Di setrum hingga nyaris mati untuk mengaku anggota PKI, karena saya menolak mengaku sehingga penyiksaan terus dilakukan,”katanya.
Lokasi penahanan tapol ini berpindah pindah dari kantor POM TNI, penampungan Sumber Rejo, Pulau Balang hingga terakhir dilokalisir di Argosari. Mereka mengalami penahanan militer tanpa proses hukum sejak tahun 1970 hingga 1977.
“Tahun 1977 ada acara seremonial yang intinya melepaskan seluruh tahanan politik ini. Namun kenyataanya yang dilepas hanya tahanan dari sipil saja. Setelah acara itu, kami dari TNI/Polri dibawa ke lokasi Argosari ini hingga sekarang,” keluhnya.
Semua ini melatari kenapa Paelan begitu kesal adanya penayangan kembali film G 30S PKI dikomandoi Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo bulan Oktober lalu. Menurutnya, film besutan sutradara Arifin C Noor memutar balikan fakta sebenarnya yang terjadi saat itu.
“Membuat orang orang makin benci dengan kami, padahal kami korban salah sasaran saja,” kesalnya.
Hingga saat ini, Paelan bersikukuh menolak pengibaran bendera merah putih setiap hari besar Indonesia. Dia berpendapat negara setidaknya harus meminta maaf atas penderitaan warganya yang terimbas pembasmian PKI di seluruh Indonesia.
“Saya ini membela negara ini menjadi tentara di zaman itu dan apa yang diperoleh hingga kini ? Saya menolak mengibarkan bendera merah putih hingga kini dan siap apapun resikonya,” tegas pria yang kini aktif dalam kegiatan kerohaniawan Gereja Katolik Santo Yosep.
Warga Argosari sebenarnya juga berulang kali memperjuangkan nasibnya dengan melaporkan permasalahannya kepada HAM. Yohanes Wagiran usia 79 tahun adalah eks tapol yang berangkat ke Jakarta dengan membawa kesaksian sejumlah kejahatan pelanggaran HAM sudah terjadi.
“Saya sampaikan semua pada Komnas HAM permasalahan menimpa kami dan tuntutan diinginkan warga disini,” ungkap mantan tentara berpangkat pembantu letnan satu ini.
Sama halnya dengan rekannya Paelan, Wagiran hanyalah menjadi korban ketegangan politik era masa orde baru bercokol. Akibat berdebat soal kebenaran teks proklamasi dengan pimpinan, dia langsung dituduh menjadi simpatisan PKI.
“Saya hanya protes, kenapa teks proklamasinya tidak ada tulisan Soekarno – Hatta ? Hanya diganti wakil wakil saja. Semestinya sejarah tidak bisa dirubah,” paparnya.
Selepas itu, Polisi Militer langsung menangkapnya serta memasukannya dalam sel berisikan belasan tertuduh PKI lainnya. Penyidik militer langsung mengintrograsi soal pendapatnya tentang pelbagai program PKI di masyarakat.
“Saya bilang saja, PKI bagus saat itu, karena perduli dengan rakyatnya. Membagi tanah dan lain lain, itu kan bagus disaat kondisi susah,” ujarnya.
Wagiran paham pernyataanya ini sekaligus membuatnya dicap sebagai simpatisan PKI. Namun dia juga tahu membantah keinginan penyidik militer sama halnya menghadapkannya pada rentetan penyiksaan.
“Membantah juga percuma, akan disiksa bertubi tubi. Mereka sadis kalau menyiksa tahanan. Saya sudah tahu teknik penyiksaan mereka ini,” sebutnya.
Sejak itu pula, Wagiran pasrah kehidupan dan karir militernya sudah habis. Ia saat itu hanya mencoba bertahan hidup dengan mematuhi setiap perintah dimaui tentara penjaganya.
“Disuruh angkat pasir, angkat kayu, membangun rumah, mencari rumput untuk ternak. Semua saya lakukan dengan sukarela. Para penjaga menjanjikan bayaran dan kenyataanya tidak demikian. Namun bisa apa saya menolaknya,” katanya.
Nasibnya terlunta dari satu tempat pengasingan ke tempat pengasingan lainnya di Kaltim. Semua lokasi tahanan tapol PKI di Kaltim sudah dijajalnya seperti sel POM TNI, Sumber Rejo, Pulau Balang dan terakhir ini Argosari.
“Disini saya menikah lagi dengan seorang tapol eks Gerwani, Nurhasanah yang kini sudah meninggal. Pernikahan ini dikaruniai dua orang putri,” tutur Wagiran.
Dua orang putrinya kini sudah beranjak dewasa dan berumah tangga. Salah seorang diantaranya bahkan berpendidikan tinggi serta menjadi tenaga pengajar di salah satu SMK Samboja Kutai Kartanegara.
Wagiran ingin anak anaknya memperoleh kesempatan yang sama seperti halnya warga negara lain. Dia memahami beratnya beban anaknya dalam meraih titel sarjana ditengah keterbatasan kemampuan ekonomi orang tuanya yang hanya peternak sapi.
“Menjadi buruh cuci, buruh setrika hanya untuk membayar uang kuliah dan kos di Tenggarong. Demikian pula sertifikasi menjadi guru di Samarinda,” ujarnya.
Namun demikian, Wagiran menyadari tuntutan kesetaraan anak anak eks tapol sulit diwujudkan negara ini. Menurutnya, masih banyak petinggi negara ini memanfaatkan isu PKI demi kepentingan politik golongan maupun perseorangan.
“Hampir tidak mungkin hingga saya mati juga akan sulit memperoleh kesetaraan dengan warga lain. Almarhum Sudomo pernah bilang anak turun eks PKI akan menjadi kelompok warga negara kelas dua di negeri ini,” keluhnya.
Apalagi kini makin sedikit pula eks tapol Argosari yang menjadi saksi hidup korban pemberangusan PKI di Kaltim. Hanya ada tiga orang yang masih mampu menceritakan tragedi masa lalunya ini yakni Aloysius Paelan, Yohanes Wagiran dan Sugito Kasirin usia 79 tahun.
Nama yang disebut terakhir ini selalu bersedih setiap kali berbicara soal PKI. Bekas tentara berpangkat prajurit satu ini teringat keluarganya yang tercerabut dari kehidupannya.
Meski begitu, Sugito mengaku tetap mencintai Indonesia dengan sepenuh hati di setiap perayaan kemerdekaan. Satu sumbangsihnya adalah dengan melestarikan seni budaya Jawa di tanah perantauan Kalimantan.
“Saya mengibarkan bendera setiap hari kemerdekaan Indonesia,” tegasnya.
Penggemar seni budaya Jawa ini rutin menggelar pentas seni ludruk, ketoprak, tari jarang kepang dan wayang orang di Balai Desa Argosari. Warga Argosari sendirilah yang menjadi pemeran kesenian Jawa ini sekaligus penontonnya.
“Pemerannya kami-kami ini, menghibur warga Argosari dengan seni budaya Jawa. Dananya berasal dari patungan masyarakat,” ujarnya.
Pemkab Kutai Kartanegara memfokuskan pembangunan ekonomi terbarukan di seluruh lapisan masyarakat. Pengembangan sarana prasarana infrastruktur desa menjadi prioritas guna mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat.
“Sekarang daya beli masyarakat sedang turun sehingga perlu ada fokus pengembangan sarana dan prasarana. Pemkab Kukar fokus pengembangan ekonomi terbarukan,” kata Kepala Bagian Humas Pemkab Kutai Kartanegara, Davip Haryanto.
Pemkab Kukar sempat menjadi daerah terkaya dengan kas Rp 7 triliun per tahun perolehan sektor migas dan batu bara. Saat ini, alokasi kas daerah menyusut drastis sebesar Rp 3 triliun per tahun.
“Kami harus prioritas dalam pelaksanaan pembangunan sesuai kemampuan daerah. Ada beberapa penghematan dilakukan seperti belanja pegawai,” ujarnya.
Namun demikian, Pemkab Kukar tetap fokus pengembangan insfrastruktur seluruh desa dan kelurahan di wilayahnya. Seluruh lokasi desa dan kelurahan memperoleh perhatian dan alokasi yang sama dari pemerintah.
“Baik lokasi bekas kampung PKI atau bukan memperoleh perlakuan sama. Bagi desa memperoleh alokasi dana desa sedangkan kelurahan memperoleh dana dari kecamatan setempat,” paparnya.
Pemkab Kukar memang menghibahkan wilayahnya untuk penampungan tapol kisaran tahun 80 an. Hingga saat ini, mereka sudah dianggap sebagai warga lokal yang harus memperoleh perlakuan yang sama.
“Semua itu masa lalu, sekarang ini tidak ada yang dibeda bedakan,” ungkap Davip.