NewsBalikpapan –
Pengalokasian dana desa belum maksimal dalam peningkatan kesejahteraan warga pedalaman Kalimantan Timur (Kaltim). Hingga kini pun tercatat hanya dua desa mencapai katagori mandiri yakni di Kutai Kartanegara (Kukar) dan Kutai Barat (Kubar).
“Hanya dua saja yang menjadi desa mandiri selama empat tahun ini,” kata Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Desa Provinsi Kaltim, M Jauhar Effendi, Sabtu (17/11/2018).
Jauhar mengatakan, Kaltim menerima gelontoran alokasi dana desa sebesar Rp 2,2 triliun selama empat tahun terakhir ini. Alokasi dana desa ini pun kemudian langsung diteruskan kepada 841 pemerintahan desa yang ada di provinsi setempat.
Pemerintah menetapkan lima parameter penilaian pemerintahan desa; sangat tertinggal, tertinggal, berkembang, maju dan terakhir mandiri. Jauhar menyebutkan, adanya 382 desa atau 45,4 persen desa Kaltim yang statusnya masih tertinggal.
“Mayoritas desa desa di Kaltim memang masih terbilang tertinggal,” ungkapnya.
Namun itu semua lebih disebabkan permasalahan cakupan wilayah antar desa yang sangat luas. Selain itu, hampir seluruh wilayah Kaltim sudah terlanjur jauh tertinggal infrastrukturnya dibanding kota/kabupaten di Jawa.
“Bahkan ada satu desa di Kaltim yang luasan wilayahnya sama dengan kabupaten di Jawa. Tentunya hal ini juga menjadi pertimbangan,” ungkapnya.
Sehubungan fakta ini, Jauhari pun bisa memaklumi belum maksimalnya dana desa bagi peningkatan kesejahteraan desa Kaltim. Sebaliknya, mantan Kabag Humas Pemprov Kaltim ini justru mengapresiasi peralihan desa tertinggal menjadi berkembang.
Selama empat tahun ini tercatat lonjakan jumlah desa berkembang di Kaltim menjadi 288 desa dari sebelumnya 140 desa. Mereka ini merupakan peralihan desa yang dulunya masuk katagori tertinggal.
Demikian pula terjadi penurunan signifikan jumlah desa sangat tertinggal di Kaltim menjadi 137 desa dari sebelumnya 301 desa. Desa desa ini naik statusnya katagori desa tertinggal di Kaltim yang jumlahnya kini 382 desa.
Kini, fokus utama Pemprov Kaltim, menurut Jauhar adalah peningkatan kemampuan aparatur desa dalam pengelolaan alokasi dananya. Mereka pun harus lebih menguasai transparansi laporan pemanfaatan dana desa.
“Jangan dibandingkan dengan desa lain di Jawa dan lainnya. Saya sempat kaget mengetahui ada desa di Kabupaten Badung yang mengelola kas Rp 16 miliar. Itu karena daerahnya sudah kaya. Kaltim saja kesulitan untuk membantu alokasi dana desa,” ungkapnya.
Meskipun begitu, Jauhar menyakini potensi dan kemampuan desa desa di Kaltim nantinya mampu sejajar dengan daerah lain. Ia mencontohkan desa Berau yang berpotensi bermodalkan keindahan alam lautnya.
“Saya selalu menekankan mereka agar fokus industri pariwisata Berau. Desa di Pulau Derawan bisa memaksimalkan dana untuk layanan wisata penyewaan perahu, rumah singgah atau lainnya,” ujarnya.
Perkampungan nelayan di Kukar, Loa Duri Ilir merupakan contoh desa bertransformasi menjadi desa mandiri di Kaltim. Mereka merasakan dampak langsung pengalokasian dana desa bagi kampungnya.
“Kampung kami sangat terbantu dengan dana desa ini,” kata Kepala Desa Loa Duri Ilir, Fakhri Arsyad.
Empat tahun terakhir, Fakhir mengaku menerima alokasi dana desa bertahap sebesar Rp 600 juta, Rp 700 juta, Rp 800 juta dan terbaru ini Rp 970 juta. Desa Loa Duri Ilir memprioritaskan penggunannya guna mendongkrak potensi perekonomian asli masyarakat.
“Membangun potensi ekonomi warga tambak ikan dan kerajinan tangan warga. Kami juga melibatkan kaum disabilitas dalam pembuatan kerajinan tangan ini,” paparnya.
Kedepannya, Fakhri mengaku memfokuskan pembangunan sarang burung walet yang lazim di Kukar. Lokasi sarang burung walet merupakan asset penyumbang terbesar pendapatan rutin kas desa.
“Tanah dan bangunan harus 100 persen milik desa. Saat ini sudah ada 2 lokasi sarang walet desa yang menghasilkan. Setidaknya kami menargetkan punya 7 lokasi sarang burung walet,” paparnya.
Sarang burung walet merupakan potensi pendapatan asli desa menggiurkan di masa mendatang. Adanya 7 lokasi sarang walet, Fakhri memperkirakan, desanya akan memiliki pemasukan sekitar Rp 50 juta per bulan.
“Satu lokasi sarang burung walet bisa menghasilkan pendapatan Rp 7 juta per bulan. Ini merupakan peluang menguntungkan masa mendatang,” tuturnya.
Kepala Perwakilan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Samarinda, Cornell Syarief menyatakan, bukan perkara mudah melakukan audit pemanfaatan dana desa. Aparat auditor lapangan tentunya memiliki keterbatasan personil dalam menjangkau 841 lokasi pemerintahan desa Kaltim.
“Tidak mungkin kami menjangkau semua lokasi desa di Kaltim,” paparnya.
BPK Kantor Samarinda dalam proses audit alokasi dana desa di Kaltim. Proses audit laporan dilakukan secara acak memilih dari sekian laporan pemerintah desa.
Apalagi soal dana desa ini, kata Cornel, BPK pun punya peran mengedukasi agar pemanfaatan dana sesuai potensi kemampuan masing masing daerah. Dalam beberapa kasus, BPK bahkan mendampingi perumusan perencanaan penggunaan dana desa.
“Dalam kasus ini, kami tidak mencari permasalahan yang terjadi. Tujuan kami agar dana desa mampu terserap maksimal sehingga meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” ujarnya.