David Christian Sengoq tidak menyangka bakalan menekuni profesi seni tattoo tradisional Suku Dayak Kalimantan. Selepas sekolah menengah atas – pemuda berusia 31 tahun ini melanjutkan bangku pendidikan perguruan tinggi di kota.
Cita cita kala itu, menjadi tukang insinyur mesin semisal Si Doel Anak Betawi sekuel sinetron zaman dulu ngetop diperankan Rano Karno. Jadilah dia mendaftar di kampus STTNAS Yogjakarta mengambil jurusan teknik mesin, 2003 silam.
“Saya masuk jurusan teknik mesin agar bisa menjadi insinyur sesuai keinginan keluarga di Balikpapan,” katanya saat ditemui di rumah sekaligus studio seni tattoo di Kampung Timur Balikpapan, Rabu (27/12).
David bukan termasuk mahasiswa gemilang di kampusnya. Prestasi akademisnya bisa disebut berantakan. Selama hampir lima tahun kuliah, ia bahkan tidak berani memastikan kapan mampu meraih titel sarjana teknik mesin.
Namun dalam situasi kurang mengenakan ini, David menemukan bakat terpendam corat coret gambarnya. Selama bergelut di kota pelajar ini pula, ia menyadari kemampuan seni tattoonya bisa dikembangkan menjadi sebuah profesi.
“Buku perkuliahan penuh isinya dengan gambar gambar iseng saja, malahan tidak ada materi pelajaran yang dicatat,” papar
Semenjak itu pula, David mulai mempraktekan kemampuan gambarnya dalam bentuk seni tattoo. Kebetulan pula, darah seni Suku Dayak Paser mengalir deras dalam menginspirasi motif tattoo lazim disandang warga pedalaman Kalimantan.
Kepulangannya ke Balikpapan menjadi titik balik pemuda keturunan tokoh Dayak ini. David menjadi sadar – bakat dan hasratnya memang bukanlah menjadi pegawai kantoran yang terjebak rutinas kerja setiap harinya.
“Pernah kerja kantoran selama setahun saja di Balikpapan dan tidak betah. Kalau kerja seperti ini bisa bebas berekspresi tanpa tekanan dari pihak luar,” ujarnya.
Selepas kerja kantoran itu, David bertekat mendudukan kembali seni tattoo tradisional Suku Dayak sebagai satu budaya peninggalan nenek moyang bangsa Indonesia. Menurutnya, kesenian tattoo bagi Suku Dayak pada hakekatnya adalah pesan spiritual bagi mereka sudah terpilih menuju jalan kebenaran.
Buah karya pertamanya adalah tatto salampang mata andau (tombak matahari). Tattoo yang menghias di betis kedua kakinya sebagai perlambang tameng pelindung kehidupan.
“Agar kami kaum laki laki mampu bekerja keras dalam mengarungi kehidupan ini,” ungkapnya.
Selain itu, David juga membubuhkan tattoo ukir rekong di lehernya – pertanda agar selalu dijauhkan dari keganasan kaum tegulun. Tegulun sendiri adalah mitos diantara prajurit perang Suku Dayak yang sulit diceritakan dengan kata kata.
Konon, mereka ini merupakan kelompok prajurit perang Suku Dayak yang punya tugas memenggal kepala musuhnya zaman dahulu kala. Keberadaan terakhir mereka ini sempat terlihat dalam konflik razial di Sampit Kalimantan Tengah beberapa puluh tahun silam.
Pada masa itu, tradisi mengayau atau berburu kepala masih dilakukan, selalu ada tanda seseorang pernah berhasil membawa pulang kepala musuh, dengan tattoo “atai kelingai” bermotif ekor kalajengking yang dirajah di leher.
Tattoo tegulun berupa selarik garis hitam di setiap buku jari para prajurit Suku Dayak masa lampau. Tattoo ini memperlambangkan statusnya sebagai prajurit utama yang berhak memenggal kepala setiap musuh musuhnya.
Pada masanya, Suku Dayak kerap mengalami peperangan antar suku saling dalam merebut wilayah kekuasaan buruan. Suku pemenang perang akan memenggal kepala prajurit lawan sebagai simbol kekuasaannya.
“Tradisi ini akhirnya yang dihilangkan semasa penjajahan Belanda lewat perjanjian tumbang anoy. Tidak boleh lagi saling bunuh dan mempergunakan hukum Belanda semasa tahun 1800,” paparnya.
Seni tattoo bagi Suku Dayak pada hakekatnya adalah perwujudan abstrak imajinasi spiritual. Sebagai contoh, adanya motif bunga terung tergambar di kedua pundak sebagai lambang lelaki pekerja keras bagi keluarga. Motif ini kerap diminati kaum hawa Suku Dayak yang jarang menanam tatoo di tubuhnya.
Ada pula motif mata pancing atau mata kael di setiap petarung silat atau jawara kampung. Motif ini juga kerap dimiliki dukun, menandakan dia bisa menarik penyakit dari tubuh seseorang.
Tema seni tattoo Dayak seluruhnya adalah soal keindahan alam Kalimantan. Leluhur lampau berusaha memvisualkan berbagai corak seperti salampang mata andau atau tombak matahari, buah andu, buah terung hingga kalajengking.
Motif tattoo Dayak didominasi warna hitam dan putih yang melambangkan kejahatan dan kebajikan selalu ada di kehidupan fana manusia. Mereka yang sudah beranjak dewasa berhak menggambar tattoo di tubuhnya, baik pria dan wanita.
“Teknik seni tatto Dayak didominasi warna hitam dan putih. Karena pewarna tradisionalnya berasal dari jelaga hitam sisa pembakaran perabotan rumah tangga. Memang tidak seglamor teknik tattoo modern yang penuh dengan permainan warna,” tuturnya.
Namun kesederhanaan teknik Dayak ini, menurut David menjadi nilai estetika tersendiri dibandingkan seni tattoo modern. Proses pembuatannya tidak terlalu menyakitkan dimana kunci utamanya hanyalah butuh ketelatenan.
“Kalau teknik modern dengan peralatan modern sangat menyakitkan. Mesinnya akan merobek kulit dalam proses menanamkan tinta ke dalam daging. Sedangkan teknik suku Dayak dengan membuat lubang lubang kecil di pori pori dalam proses pemberian tinta. Kalau istilah disini hanya dengan di catuk catuk saja,” sebutnya.
Soal perkakas seni tattoo, David punya pilihan sendiri. Ia memilih melanjutkan kebiasaan tradisi nenek moyangnya yang menggantungkan hidup pada alam.
Seperti halnya mata jarum alat tattoonya memanfaatkan duri batang pohon jeruk ataupun salak yang jamak di Kalimantan.
Pewarna tattoonya adalah jelaga perkakas dapur yang dibaluri madu lebah liar hutan. Khasiatnya agar luka bekas pembuatan tattoo tidak menimbulkan infeksi dan bekas luka.
Duri runcing dibaluri pewarna jelaga hitam dipakai menggores daging yang sedianya akan ditattoo.
“Tekniknya duri runcing ini disematkan ke batang kayu dan di totol totolkan berulang kali ke tubuh yang akan digambar tattoo. Terkadang kayunya juga dipukul pukul pakai kayu lain agar tinta tradisionalnya cepat meresap dalam kulit,” paparnya.
Lewat keahlian ini, David menjadi seniman tattoo Suku Dayak tradisional di Balikpapan. Sekali mentattoo, ia mematok tarif 150 US dolar per jamnya. Kliennya mayoritas adalah warga ekspatriat di Balikpapan yang ingin mengabadikan gambar lewat kreatifitas seni tattoo Dayak.
“Sekali tattoo setidaknya butuh waktu hingga 3 jam sehingga tarifnya sekitar 450 US dolar. Ini khusus klien warga asing di Balikpapan. Kalau untuk warga lokal akan berbeda tarifnya,” ujarnya seraya menambahkan setiap bulan minimal ada tiga warga asing yang berniat mempergunakan jasa tattoo Dayak di Balikpapan.
“Kalau memang pas sepi, saya pergi saja ke Bali dan menawarkan jasa tattoo disana. Tarifnya lebih mahal menjadi 300 US dolar per jamnya,” imbuh pria yang terpaksa putus kuliah di akhir semesternya.
Seni budaya tattoo bagi warga Suku Dayak Kalimantan kian tergerus seiring perkembangan zaman. Hanya segelintir orang yang masih mempertahankan seni budaya tradisional dalam berbagai upacara adat.
“Saat ini sudah berkurang mendapati warga Suku Dayak yang bertattoo di tubuhnya,” kata Ketua Dewan Adat Dayak Balikpapan, Hartoyo Sengoq (61 tahun).
Warga Dayak yang bertattoo, lanjut Hartoyo, banyak ditemui saat pagelaran upacara adat di beberapa daerah pedalaman. Mayoritas diantaranya adalah para tetua adat yang bertugas memimpin pelaksanaan doa.
“Karena ada beberapa suku Dayak yang memang tidak lazim menggambar tattoo di tubuhnya. Tidak semua Suku Dayak identik denga tattoo,” ujarnya.
Selain itu, perkembangan zaman kota/kabupaten di Kalimantan turut mempengaruhi minat seni tattoo bagi kalangan muda saat ini. Hartoyo menyebutkan, adanya tuntutan sejumlah institusi pemerintah yang melarang pegawainya menorehkan seni tattoo ditubunya.
“Kalau mau masuk instansi TNI, Polri dan PNS akan kesulitan bila memilki tattoo. Ini juga menjadi pertimbangan anak muda sekarang saat akan punya tattoo,” ungkapnya.
Kabupaten Mahakam Ulu Kalimantan Timur adalah salah satu daerah pedalaman yang mayoritas warganya adalah Suku Dayak. Institusi pemerintahan daerah tidak pernah menyoal seni budaya tattoo bagi aparatur sipil negaranya.
“Selama ini tidak pernah ada permasalahan soal tattoo. Mayoritas pegawai disini adalah Suku Dayak setempat,” kata Ketua DPRD Mahakam Ulu, Novita Bulan.
Novita mengatakan, pemerintah daerah selama ini memang tidak pernah menyinggung soal kepemilikan tattoo bagi seluruh pegawainya. Menurutnya, ada peraturan tidak tertulis diterbitkan kepala daerah yang bisa memaklumi keberadaan tattoo di Kabupaten Mahakam Ulu.
“Kalau Suku Dayak sudah terbiasa dengan tattoo sehingga tidak memandangnya sebagai sesuatu yang luar biasa,” papar anggota legeslatif perwakilan PDIP berdarah Suku Dayak ini.
Sebaliknya, Novita meminta agar kearifan lokal seni budaya tattoo Suku Dayak ini bisa diterima instansi lain semisal TNI/Polri. Menurutnya, pimpinan TNI/Polri memberikan kelonggaran dalam penerimaan pemuda/pemudi Suku Dayak menjadi prajurit Saptamarga atau Bhayangkara.
“Semestinya memang ada sedikit kelonggaran, terutama bagi yang memiliki tattoo ditubunya. Saat ini yang penting adalah kinerjanya dan bukan soal tattoo ditubuhnya,” tegasnya.