Piala Dunia dan Islamofobia

NewsBalikpapan –

Sepak bola tengah berubah. Sejumlah pemain muslim kini mewarnai berbagai liga. Mohamed Salah, bintang Liverpool, menjadi idola pencinta bola seluruh dunia. Ketika Salah mencetak gol, lalu sujud syukur di lapangan, semua penonton bertepuk tangan dan mengelu-elukannya. Samir Nasri, ketika menjadi gelandang Manchester City, mencetak gol yang menentukan kemenangan timnya saat berlaga melawan Southampton dengan skor 3-2 pada Liga Primer 2012. Nasri merayakan gol itu dengan mengangkat jersey-nya yang memperlihatkan kaus dalam bertulisan “Eid Mubarak” (“Selamat Idul Fitri”).

Dalam satu dekade terakhir, pemain muslim membanjiri berbagai klub bergengsi Eropa, seperti Arsenal dan Manchester United di Inggris, Juventus di Italia, serta Sevilla dan Barcelona di Spanyol. Sejumlah pemain, seperti Sami Khedira dan Mesut Oezil, memperkuat tim nasional Jerman. Muslim pun mewarnai organisasi sepak bola di Eropa. Rimla Akhtar, misalnya, menjadi perempuan pertama yang duduk di Dewan Asosiasi Sepak Bola Inggris (FA). Perempuan berhijab itu mantan kapten kesebelasan perempuan muslim Inggris.

Negara-negara Islam pun ambil bagian sebagai tuan rumah banyak kompetisi olahraga internasional. Pertandingan tenis, atletik, golf, balap sepeda, dan Formula One digelar di Qatar, Uni Emirat Arab, dan Bahrain. Bahkan Federasi Asosiasi Sepak Bola Dunia (FIFA) akhirnya memenangkan Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022. Ini pertama kali dalam sejarah mega-olahraga itu digelar di negara muslim.

Puncaknya adalah Piala Dunia 2018, yang dimulai di Rusia pada pertengahan Juni ini. Tujuh negara berpenduduk mayoritas muslim akan berlaga di sana: Mesir, Arab Saudi, Tunisia, Maroko, Senegal, Iran, dan Nigeria. Pesta sepak bola itu akan dibuka dengan pertandingan tim nasional Rusia melawan Arab Saudi.

Kehadiran muslim itu membuat kompetisi olahraga internasional, yang selama ini tumbuh pesat di negara-negara sekuler, harus bernegosiasi dengan tradisi Islam. Alkohol, misalnya, adalah produk yang lazim ada dalam pesta olahraga di negara Barat. Perusahaan minuman beralkohol hampir selalu menjadi sponsor. “Tradisi” ini bahkan dapat mengubah aturan di kampung halaman tuan rumah. Brasil, misalnya, harus mencabut larangan penjualan bir ketika menjadi penyelenggara Piala Dunia 2014.

Hal itu sangat sulit terjadi bila acaranya digelar di negara berpenduduk mayoritas muslim. Grand Prix di Bahrain, misalnya, tak lagi memakai sampanye saat upacara penyerahan hadiah pemenang balapan dan menggantinya dengan air mawar. Setelah berunding dengan FIFA, Qatar akhirnya mengizinkan penjualan minuman beralkohol selama Piala Dunia 2022 di tempat khusus tertutup yang jauh dari stadion.

Para pemain muslim juga bereaksi atas hal-hal yang berhubungan dengan ajaran agamanya. Gelandang Manchester City, Yaya Toure, menolak hadiah sampanye sebagai pencetak gol penentu kemenangan timnya di Liga Primer. Papiss Cisse, saat menjadi pemain Newcastle, menolak memakai jersey dengan logo sponsor perusahaan perkreditan karena menganggapnya riba.

Yang paling ramai adalah perkara hijab. FIFA selama ini mengatur ketat cara dan jenis pakaian olahragawan. Keputusan FIFA yang melarang hijab pada 2007 membuat tim sepak bola perempuan nasional Iran tak bisa lolos kualifikasi Olimpiade 2012. Gugatan menyerbu FIFA dan perdebatan tentang hijab pun berlangsung alot. Akhirnya, FIFA mencabut larangan itu pada 2014. Perubahan kebijakan itu membuka partisipasi yang lebih besar bagi perempuan muslim.

Pada akhirnya, berbagai organisasi olahraga harus kembali ke nilai-nilai dalam olahraga yang digariskan, antara lain, oleh FIFA, seperti menjunjung kejujuran, saling menghormati, serta menolak korupsi, rasisme, kekerasan, dan hal lain yang merusak reputasi olahraga. Kaum muslim, juga masyarakat dengan keyakinan lain, sepatutnya diberi tempat pula di Piala Dunia. Peraturan tentu bisa dirundingkan, tapi niat baik untuk memberikan kesempatan harus didahulukan. Sikap semacam itulah yang membuat olahraga dipercaya mampu menjadi jembatan perdamaian. Rujuknya Korea Utara dan Korea Selatan pada April lalu, misalnya, bisa terwujud berkat sumbangan “diplomasi olahraga”, ketika kedua negara sepakat berada di bawah satu bendera saat bertanding di Olimpiade Musim Dingin di Korea Selatan, Februari lalu. Dengan cara demikianlah olahraga memberikan sumbangan besar bagi peradaban dunia.

 

Berita Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *