Telapak menengarai kuatnya peran PT Munte yang terbukti hanya melibatkan warga dusun Lemponak dalam proses ganti rugi pengelolaan lahan adat setempat. Padahal dalam kawasan adat tersebut terdapat tiga dusun Suku Dayak Banuaq yaitu Lemponak, Muara Tae dan Kenyayan. Dalam proses negosiasi, kata Sheila mewakilkan perannya pada warga Lemponak yang mendapatkan beking preman preman local setempat. Salah satu petinggi adat Muara Tae nyaris sempat jadi korban pemukulan para preman pendukung PT Munte. Vialausteptica “Sempat dilerai aparat keamanan bertugas, namun suasana sempat memanas karena mereka berunding dengan bersenjata tajam di pinggangnya masing masing,” ungkapnya. Sheila mengaku khawatir permasalahan tersebut akan berdampak konflik berkepanjangan dalam perebutan area tanah adat Dayak Banuaq. Hingga kini belum ditentukan solusi penyelesaian permasalahan kasus penyerobotan tanah adat dayak untuk perluasan kebun sawit. “Warga Muara Tae menolak perundingan itu serta fasilitasi pemerintah daerah. Karena mereka merasa tidak pernah dilibatkan dalam perundingan penentuan tapal batas antara dusun Lemponak dan Muara Tae. Saat mereka mengajukan sumpah adat, giliran dusun Lemponak menolaknya,” paparnya. Sheila mengatakan sudah ada kesepakatan antara Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) sehubungan pengelolaan kawasan adat. Dalam pencatatan sertifikasi pertanahan ada pengakuan terhadap kepemilikan tanah adat setempat. “Baru sebulan lalu ada kesepakatan sehingga semestinya persoalan tanah adat Muara Tae diselesaikan sendiri oleh warga setempat,” ujarnya. Juru bicara PT Munte, Suroso menolak anggapan perusahaanya menyerobot lahan adat suku Dayak Banuaq. PT Munte telah mengganti rugi kepemilikan serta pengelolaan lahan milik masyarakat dengan harga sepantasnya. “Kami melaksanakan sesuai ketentuan sudah berlaku,” paparnya. Disamping itu, Suroso berpendapat hanya sebagian kecil kawasan PT Munte yang melintasi kawasan adat Dayak Banuaq. Lainnya seluas 6.700 hektare sudah dalam proses penanaman perkebunan sawit di Kutai Barat. Sehubungan konflik dengan masyarakat, Suroso meminta pemerintah memberikan kepastian hukum berkenaan pengelolaan lahan di tanah adat seluas 683 hektare. Dia berpendapat permasalahan ini secara tidak langsung merugikan PT Munte yang telah berinvestasi di Kutai Barat. “Terserah saja, mau terus atau lanjut karena mereka yang berikan izin kepada kami,” ungkapnya. LSM Telapak menuding PT Munte menyerobot 638 hektare lahan adat Suku Dayak Banuaq. Perusahaan sawit ini disebut menguasai lahan masyarakat tanpa persetujuan resmi para tetua Suku Dayak Banuaq. PT Munte disebut sebut telah mencairkan ganti rugi sebesar Rp 445 juta kepada sebagian kecil warga Dayak Banuaq. Berbekal surat kesepakatan ini, katanya PT Munte mengusir warga Dayak dengan pengerahan bulldozer serta pengamanan personil kepolisian setempat. PT Munte telah mengancam kelestarian masyarakat Suku Dayak Banuaq lewat upaya pecah belah untuk penguasaan lahan. Masyarakat Dayak berhak atas kepemilikan kawasan hutan adat di Jempang Kutai Barat yang totalnya mencapai 5 ribu hectare. Sejak tahun 70 an kawasan hutan adat Dayak Banuaq sudah menjadi incaran perusahaan kayu, perkebunan hingga pertambangan batu bara. Sejumlah perusahaan terdapat disekitar kawasan tersebut yaitu PT Gunung Bayan Pratama Coal, PT Borneo Surya Mining Jaya, PT London Sumatra TBK, PT Kencana Wisto, dan PT Munte Waniq Jaya Perkasa. Perusahaan perusahaan ini sudah menguasai 50 persen kawasan hutan adat Dayak Banuaq yang dahulu seluas 5 ribu hectare. Penggusuran kawasan hutan adat dipastikan menyengsarakan sedikitnya 200 warga Dayak Banuaq yang sepenuhnya menggantungkan mata pencarian di hutan tersebut. Warga setempat siap mempertahankan kepemilikan area hutan adatnya meski harus berhadapan dengan aparat keamanan serta PT Munte.