Seperti halnya film ‘The Dark And The Darkness’ dipopulerkan Michael Douglas dan Val Kilmer – monster Sengata sempat jadi terror bagi warga Kaltim era 90 an. Kala itu, dua ekor buaya raksasa mengganas dengan memangsa manusia di wilayah sungai Sengata dan Muara Badak. Bedanya, di sini tokoh utamanya adalah buaya sedangkan film tersebut menggambarkan dua ekor singa yang mengganas di Afrika sana.
Kedua buaya ini sudah dibunuh untuk mengeluarkan potongan tubuh korban yang tertinggal didalam perutnya untuk selanjutnya diawetkan di museum kayu. Siapa pun yang melihat buaya yang ditaruh dalam etalase kaca ini akan bergidik jika membayangkan tubuh buaya yang badannya 2-3 kali tubuh manusia tersebut benar-benar hidup.
Museum yang berada di bilangan Jalan Anggana Nomor 17 Tenggarong ini sebenarnya hendak menonjolkan berbagai jenis kayu yang telah diawetkan di dalamnya. Namun minat pengunjung yang datang lebih kepada buaya yang diawetkan. Secara tidak langsung adanya buaya inilah yang menarik minat wisatawan dari berbagai daerah untuk datang ke museum kayu. Banyak yang awam bahwa di museum ini menyimpan bukti keberadaan berbagai jenis tanaman Kalimantan. Bila ditafsir jumlahnya tidak sampai 10 persen dari total pengunjung yang hendak melihat berbagai jenis tanaman Kalimantan.
Satu fakta yang kemudian menjadi pengakuan tersendiri Koordinator Lapangan Museum Kayu Tuah Himba, Sophyan Hadi. Museum Kayu Tuah Himba dibangun sejak tahun 1991 dan mulai beroperasi pada tahun 1995. Baru setahun beroperasi, koleksinya ditambah masuknya dua buaya awetan yang seterusnya jadi daya tarik tersendiri kelangsungan museum.
“Awalnya karena tidak punya tempat, buaya sementara diletakkan di Museum Kayu Tuah Himba, namun ternyata buaya tersebut telah menarik banyak wisatawan datang ke Museum Kayu dan jadilah kini Museum Kayu tempat untuk menyimpan buaya yang berasal dari Sangata dan Muara Badak,” ungkapnya kepada Majalah Info Balikpapan.
Padahal museum kayu bukan hanya memamerkan dua buaya sudah diawetkan. Disana terdapat pula berbagai benda lain seperti kayu, daun-daunan, biji-bijian, kucing hutan, dan kepiting. Juga terdapat beberapa hasil olahan, seperti olahan kayu dan rotan, serta koleksi benda lainnya seperti lembusuana dan lainnya.
Museum Kayu Tuah Himba sudah mengalami banyak perubahan lewat penambahan ruangan untuk koleksinya. Pengunjung bisa dengan gampang mengelompokan ruangan dari jenis berbagai koleksinya terdiri ruang koleksi hasil olahan dari kayu, ruang koleksi hasil olahan dari rotan, ruang koleksi jenis-jenis kayu dan ruang koleksi herbarium, kumpulan berbagai macam jenis daun-daunan yang diawetkan.
Koleksi kayu yang diawetkan ada berkisar 250 jenis, seperti kayu ulin, sungkai, meranti, karet, ketapang, jati dan melinjo. Koleksinya makin semarak lewat berbagai jenis daun yang total hampir mencapai 300 jenis yakni daun mahoni, manggis, cemara, bangris dan kemiri ditambah biji-bijian pinus, randu, kapuk, angsana, salak dan lain lain.
Pengunjung museum biaya memadati di hari hari libur sekolah saja atau pas hari Sabtu atau Minggu serta hari-hari besar seperti lebaran, natal dan tahun baru. Pada hari-hari biasa pengunjung yang datang biasanya tamu dinas saja dan untuk orang umum hampir tidak ada.
Pengunjung yang datang biasanya dari luar daerah Tenggarong, seperti Samarinda, Balikpapan, Bontang, Sangata dan berbagai kota di Kaltim. Namun di luar hari libur panjang, pengunjung bukan hanya didominasi wisatawan domestic tapi juga internasional.
Namun demikian, jumlah pengunjung ini jumlahnya jauh menurun bila dibandingkan saat jembatan Tenggarong penghubung Samarinda – Kukar masih gagah berdiri. Terputusnya akses pendekat dua kota ini dituding jadi penyebab utama menurunnya 50 persen jumlah pengunjung museum kayu yang biasanya mencapai 800 orang di musim liburan.
“Pengunjung dibandingkan sebelum Jembatan Mahakam runtuh jauh menurun saat ini. Kalau sebelum runtuh dalam 1 minggu di waktu lebaran bisa mencapai sekitar 800 orang lebih, tapi sekarang diperkirakan paling banyak 400 orang,” ungkap Sophyan.
Kedepannya, dalam rangka pengembangan untuk menarik minat wisatawan akan dibuat taman kota di lokasi museum. Para wisatawan yang datang tidak hanya melihat herbarium yang sudah diawetkan di dalam museum, juga bisa melihat herbarium hidupnya di luar museum.
Ruang pamer hidup ini nantinya berlokasi di area lahan seluas 95 hektare milik Kabupaten Kutai Kartanegara. Taman kota akan dibuat secara bertahap sesuai anggarannya. Penanaman sudah berjalan selama 3 tahun, dilakukan sejak tahun 2009 dimulai dengan menanam 500 pohon dan dilanjutkan 1 ribu batang lagi bertepatan saat penyelenggaraan Pekan Nasional Kutai Kartanegara 2011 lalu. Totalnya terdapat 1.500 batang pohon berbagai jenis tanaman khas Kalimantan plus 500 batang lagi yang disiapkan pada tahun 2012 ini.
Saat ini koleksi terbaru museum adalah sebuah tempat penyimpanan padi atau gabah kering yang terbuat dari kulit kayu pukulan. Benda langka ini dahulunya tempat menyimpan padi warga pedalaman Kalimantan yang usianya diperkirakan sudah ratusan tahun silam.
1 Comment
[…] wisata alam Batu Dinding masih dirasa asing bagi mayoritas warga Kalimantan Timur. Tidak sedikit warga Bumi Etam yang […]