NewsBalikpapan –
Fasilitas Kelurahan Argosari Amburawang Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) Kalimantan Timur (Kaltim) terbilang lengkap. Luar kelaziman, suatu desa pelosok di Borneo diperlengkapi infrastruktur extra lengkap.
Jalanan aspal beton mengular menghubungkan perkampungan berpenghuni 167 kepala keluarga. Mobil ambulannya pun siap sedia mengantar warganya yang tengah membutuhkan.
Bukan hanya itu, bangunan masjid, gereja katolik dan protestan berdiri kokoh melayani umat setempat yang jumlahnya tidak seberapa.
Padahal lokasinya terpencil membutuhkan tiga jam perjalanan darat dari Balikpapan. Itu pun tidak persis ada di pinggir jalan.
Tempatnya masih menjorok masuk satu kilometer dari jalanan utama.
Meskipun begitu, masyarakat Kaltim sudah mafhum keberadaan Argosari. Suatu perkampungan terpencil dulunya menjadi penampungan tahanan politik (tapol) Partai Komunis Indonesia (PKI) di Kaltim.
Tempat yang dulunya menjadi lokalisasi tokoh partai merah semasa rezim Soeharto berkuasa. Kasarnya, mereka dibuang kesini hanya untuk dilupakan. Warga Argosari kelompok terkucilkan akibat konflik politik masa lalu.
Meskipun begitu, bukan perkara gampang membuka cerita soal masa lalu mereka. Mayoritas warga Argosari cenderung tertutup terhadap pemberitaan, sekaligus wartawan. Cerita masa lalu pasti langsung ditolak. Padahal kelurahan ini kerap menjadi pusat pemberitaan media massa.
Apalagi sudah semakin berkurang saksi sejarah peristiwa masa lalu. Tokoh vokal seperti Untung Suyanto, M Kapli dan Kasti sudah almarhum. Mereka bertiga ini lah yang biasanya sukarela berkisah soal cerita masa lalunya.
News Balikpapan sempat menemui saksi sejarah, Maman Sudana (76) yang sedang beribadah di Masjid An Naas Argosari. Sejak awal bertemu, ia langsung mewanti wanti agar tidak bicara soal cerita kelam masa lalunya.
“Saya tidak mau bicara politik, sudah bosan. Lebih baik bicara soal keagamaan saja,” kata Maman, Jumat (10/5/2019).
Maman merupakan salah seorang eks tapol Argosari yang jumlahnya kian menyusut. Faktor umur pula yang membuat mereka satu per satu berpulang.
Tapol menghuni Argosari sejak 1970 silam. Artinya, mayoritas diantaranya sudah mendiami perkampungan ini selama 50 tahun. Mereka yang dianugerahi umur panjang seluruhnya adalah manusia lanjut usia (manula) diatas 75 tahun.
“Sudah banyak yang meninggal dunia. Mungkin tersisa enam orang saja dari dulunya mungkin ratusan orang,” ungkap Maman.
Memang pada dasarnya, Maman seperti lainnya adalah korban konflik politik masa lalu. Tanpa persidangan, ia langsung ditahan hingga diasingkan ke lokasi itu.
Itu mungkin menjadi penyebab kenapa Maman sepertinya pelit bicara soal politik. Terus terang, pria berdarah sunda ini enggan mengingat cerita masa lalu, termasuk kehancuran keluarga dan terdampar di Argosari.
“Biasanya yang sering cerita masa lalu itu Untung Suyanto, Sugito Kasirin, M Kapli hingga masih banyak lainnya. Kalau saya sudah malas mengingat lagi,” ungkapnya.
Kini Maman sudah move on mengutip istilah remaja zaman milenal. Hidupnya sepenuhnya tercurah pada keluarga baru sekaligus kesibukan relegius di Masjid An Naas Argosari.
“Kalau sudah seumuran saya ini, apa lagi yang mau dicari ? Mencari ketenangan jiwa dengan menekuni kegiatan keagamaan lebih bermakna,” ujarnya kalem.
Maman mengatakan, suasana perkampungan sangat mendukung keinginannya menyingkir dari keramaian duniawi. Argosari sendiri dihuni oleh orang orang yang senasib sepenanggungan dengannya.
Rata rata mereka hanya ingin menghabiskan masa tua dengan tenang. Argosari bisa diibaratkan keluarga besar yang beranggotakan pelbagai suku bangsa.
“Kami semua adalah keluarga yang saling mendukung satu dengan lainnya. Toleransi beragama tumbuh otomatis tanpa perlu diajarkan,” papar Maman.
Maman mencontohkan, empati antar warga terlihat kala mereka ditimpa kemalangan. Tanpa harus diundang, menurutnya, seluruh warga akan datang untuk memberikan dukungan.
“Tanpa memandang agama dan suku diantara kami,” ujarnya.
Apalagi kini seluruh umat Islam sedang menunggu datangnya bulan suci Ramadan, pertengahan bulan Mei nanti. Mereka yang beragama non muslim pun bertoleransi dengan tidak menggelar kegiatan secara berlebihan.
“Mereka menggelar acara di luar bulan Ramadan agar tidak mengganggu umat muslim,” sebutnya.
Demikian pula disaat perayaan Hari Raya Idul Fitri.
“Mereka datang ke rumah sekedar mengucapkan selamat lebaran. Sebaliknya pula, kami melakukan hal serupa saat mereka merayakan Hari Natal,” imbuhnya.
Pada prinsipnya, Argosari seperti keluarga yang dipersatukan kesamaan nasib. Maklum saja, mengingat mereka adalah eks tapol atau setidaknya anak turun eks tapol.
Ini pula yang diakui Aloysius Paelan (78) eks tapol yang aktif di Gereja Katolik Santo Yoseph Argosari. Mantan tentara yang membuka lembaran baru di lokasi penampungan.
Paelan sudah melupakan seluruh keluarga yang enggan mengakuinya. Istri dan anak kandungnya sudah menganggapnya meninggal dunia.
“Putra pertama akhirnya baru-baru ini mau mengakui keberadaan saya di sini. Sedangkan, anak kedua belum mau ke sini meskipun tahu bapaknya masih hidup di sini,” keluh Paelan.
Kini, Paelan menemukan saudara pengganti. Mereka adalah para eks tapol Argosari yang jumlahnya kini bisa dihitung dengan jari.
“Mereka ini saudara saudara saya disini,” ungkap Paelan.
Lantaran itu pula, Paelan menyadari arti pentingnya warga Argosari menggantikan keluarga kandungnya. Ia memahami kesamaan nasib mereka yang mempererat kekerabatan. Perbedaan tidak menjadi penghalang diantara mereka.
“Kami memang berbeda agama, tapi hubungan diantara kami semua tetap berjalan dengan baik,” ujar pria asal Jawa Timur.
Paelan mengatakan, masyarakat Argosari saling menghormati pilihan agama masing masing. Meskipun begitu, hubungan antar tetangga pun dianggap penting sebagai wujud toleransi.
“Semisal lebaran, kami ke rumah tetangga yang muslim demikian pula sebaliknya. Kami hanya tidak mengikuti jalannya ritual agama masing masing,” tuturnya.
Argosari sedikit berbeda dari perkampungan kebanyakan. Memang kenyataannya, para eks tapol ini dulunya berasal dari kelompok masyarakat berpendidikan dari sejumlah daerah di Indonesia.
“Mereka ada yang mantan tentara, polisi, Pertamina dan masih banyak lagi,” ungkap tokoh agama setempat, Abdul Aksan.
Sehingga tidak heran, Aksan mengibaratkan Argosari seperti semboyan Indonesia, Bhinika Tunggal Eka. Hampir semua suku bangsa terwakili disini.
“Hampir semua ada disini suku sukunya,” kata pria paruh baya yang berprofesi pengawas Dinas Pendidikan Kukar.
Soal toleransi antar tetangga tidak perlu diragukan. Persatuan dan kekompakan terjalin sejak bermukim disini.
“Kalau ada yang meninggal, semuanya akan hadir untuk menunjukan belasungkawa. Mereka akan mengantar jenasah serta membantu mengebumikan,” papar Aksan.