NewsBalikpapan –
Sepak terjang Kurnia Widodo (45) di dunia terorisme hampir tidak terkira. Sarjana kimia ini tidak langsung memicu maraknya aksi teror bom tanah air dalam lima tahun terakhir.
“Saya sudah belajar meracik bom semasa kuliah dulu,” kenang mantan terpidana teror ini di Balikpapan Kalimantan Timur (Kaltim), Rabu (10/7/2019).
Kurnia mulai intoleran saat mengenyam bangku pendidikan SMA 2 Lampung. Ia digambarkan sebagai pribadi yang kaku, anti Pancasila, NKRI dan benci bangsa ini.
“Percik percik rasa intoleransi sudah muncul semasa SMA 2 di Lampung,” paparnya.
Berumur belasan tahun, jiwa terpanggil mendirikan negara khilafah berazaskan hukum Islam. Kesalahan pergaulan mendoktrin narasi ketertindasan umat Islam versi mereka, di Indonesia.
Pada 1992, selepas SMA dan diterima di Intitut Teknologi Bandung (ITB), Kurnia tetap bergaul komunitas garis keras.
Kelompok kecilnya ini kian mematik paham radikalnya.
“Saya kian penasaran dengan perjuangan Islam ini, belajar dengan orang dan kelompok lain,” ungkapnya.
Selama kuliah itu, Kurnia pun aktif pengajian di Pondok Pesantren Al Zaytun Indramayu Jawa Barat (Jabar). Disini, pria ini mulai mengenal konsep Negara Islam Indonesia (NII).
“Kelompok ini dipimpin pria yang memiliki sembilan istri.” Fakta yang bertentangan dengan nuraninya.
“Dasarnya dari mana antum punya sembilan istri ? Saya memutuskan keluar,” imbuhnya.
Namun, meskipun sudah keluar, Kurnia kadung terpapar doktrin radikalisme. Tekatnya bulat, hendak membubarkan negara ini atau mati syahid.
“Mereka selalu mempergunakan isue penindasan warga Islam dan narasi akhir jaman, datangnya khalifah Imam Mahdi dan Dajjal,” ungkapnya.
Sampai disini, Kurnia secara mandiri mulai belajar meracik bom di kamar kos. Jurusan Fakultas Teknik Kimia ITB punya bekal ilmu memadai membuat bom berdaya ledak tinggi.
“Tiga kali uji coba bomnya berhasil, tiga kali pula hampir tewas terimbas getaran bom ini. Seperti terlempar hingga terserempet besi yang terlontar daya ledak bom,” ungkapnya.
Keahliannya membuatnya kian populer diantara kelompok radikal. Jaringan teroris Cibiru Bandung pun melibatkannya dalam pelatihan militer Jamaah Anshorut Tauhid (JAT) di Aceh.
Keikutsertaannya ini pula yang membuatnya berurusan aparat hukum. Detasemen Khusus 88 meringkus ahli kimia ITB berikut empat pelaku teror lainnya di Jawa Barat.
Hakim menjatuhkan vonis penjara 6 tahun, Juni 2011.
“Tapi kenyakinan saya belum goyah, saya bahkan melempar kursi ke majelis hakim, pasca putusan,” papar Kurnia.
Selama menjalani masa tahanan, Kurnia tetap berkomunikasi dengan sel jaringan teroris. Termasuk rekan selnya, Bahrum Naim yang dipenjara atas kepemilikan senjata api dan belakangan menjadi tokoh propaganda ISIS di Syuriah.
“Saya pula yang mengajarkan Naim bagaimana merakit bom. Dia ahli IT sehingga kemudian menyebarkan cara membuat bom lewat dunia maya,” tuturnya menyesalkan ajarannya tersebar luas.