NewsBalikpapan –
Aktivis lingkungan merespon negatif penunjukan Kalimantan Timur (Kaltim) menjadi ibu kota negara. Penentuan lokasi ibu kota dianggap menguntungkan para pemilik konsesi industri tambang, perkebunan dan hutan tanaman industri (HTI).
“Serampangan, terburu buru dan terkesan mengejar proyek ratusan triliun rupiah pemilik lahan,” kata Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional Merah Johansyah, Selasa (27/8/2019).
Merah mengatakan, oligarki industri tambang dan perkebunan menguasai mayoritas kawasan Kaltim. Daratan Kaltim seluas 12,7 juta hektare dikuasai konsesi tambang (43 %) dan perkebunan (29 %).
Kaitan lokasi ibu kota, Jatam pun mencatat perusahaan bercokol di Kutai Kartanegara (Kukar) dan Penajam Paser Utara (PPU).
Kaltim menerbitkan 1.190 izin usaha pertambangan (IUP) dimana 625 izin diantaranya berada di Kukar. Total izin tambang di kabupaten ini juga ada di Kecamatan Samboja dan Bukit Soeharto seluas 134 izin.
Dua lokasi persis ibu kota baru di Kukar.
“PT Singlurus Pratama sebagai perusahaan tambang terbesar di Samboja akan sangat diuntungkan,” papar Merah.
Singlurus Pratama sendiri merupakan pemegang Perjanjian Karya Pertambangan Batu Bara (PKP2B) seluas 24.760 hektare.
Demikian pula kawasan Penajam yang turut jadi bagian ibu kota. Kabupaten termuda di Kaltim ini merupakan lokasi konsesi PT ITCI Hutani Manunggal IKU dan PT ITCI Kartika Utama. Perusahaan hutan tanaman industri (HTI) dan hak pengusahaan hutan (HPH) milik pengusaha Hashim Djojohadikusumo notabene adik politikus Prabowo Subianto.
“Lokasinya berada di Kecamatan Sepaku Penajam,” papar Merah.
Prabowo sendiri merupakan Ketua Umum Partai Politik Gerindra. Ia sempat berkompetisi sengit lawan Joko Widodo (Jokowi) dalam pemilihan presiden bulan April lalu.
Sehubungan itu, tidak heran jika Merah lantas menuding aroma kongkalikong politik melatari isue pemindahan ibu kota. Pemindahannya sekedar bagi bagi proyek pasca pilpres.
Padahal dalam kaca mata Jatam, menurut Merah, pemerintah semestinya turut mempertimbangkan aspirasi masyarakat. Ia bahkan meminta proses keputusannya ditentukan lewat mekanisme pengumpulan jejak pendapat masyarakat Kaltim.
Apalagi kebijakan ini diyakini membawa masalah beban lingkungan serta budaya lokal. Termasuk pula eksodus 1 juta warga pendatang mengancam ruang hidup warga.
“Hak warga untuk menyampaikan pendapat jelas diingkari dan bisa disebut sebagai kediktatoran presiden,” paparnya.