Balikpapan – Penuh ketekunan, Agus Sudarmono menorehkan mata cantingnya ke selembar kain putih bersih yang terhampar di pelataran rumahnya. Tangannya telaten membubuhi kain dengan berbagai ragam warna corak batik dikendaki menjadi kain yang memiliki nilai ekonomis tinggi.
Bukan perkara gampang melukis kain putih polos menjadi kain batik yang dulu biasa dipakai para priyayi Jawa ini. Perlu ketekunan, kesabaran, keuletan dan tentunya keahlian membatik kain yang tentunya tidak sembarangan orang memahaminya.
“Membuat kain batik paling cepat butuh waktu 2 hari dalam prosesnya. Itu kenapa kain ini terbilang mahal dibandingkan lainnya,” kata penyandang cacat hasil binaan perusahaan minyak gas Chevron Indonesia di Balikpapan ini.
Bersama komunitas penyandang cacat lainnya, Agus kemudian mengkomersilkan keahlian seni batik di Balikpapan Kalimantan Timur. Sudah selayaknya, warisan bangsa ini dikembangkan di seluruh pelosok negeri : Salah satunya seni batik Kalimantan.
“Memang seni batik mengadopsi dari asalnya di Jawa. Namun kami juga berusaha agar mampu menampilkan ciri khas Kalimantan sendiri,” paparnya.
Lantaran itu, Agus berupaya mengeksploitasi potensi pulau Borneo yang sekiranya bisa diangkat sebagai corak khas kain batik produksinya. Beragam jenis tanaman asli Kalimantan menjadi inspirasi untuk diangkat menjadi corak kain batik warga tetenger ‘Benua Etam’ ini.
Walhasil, kini sudah ada beberapa motif asli besutan Kalimantan seperti kantong semar (tropical pitcher), ulin (the iron wood), black orchid hingga pasak bumi yang jamak ditemukan di hutan hutan tropis Kalimantan. Memang belum sedalam filosofi dalam motif batik Jawa seperti parang rusak, parang klithik, semen gedhe sawat gurdha, udan liris, rujak senthe hingga masih banyak lainnya yang usianya ratusan tahun. Namun keberadaan motif Kalimantan bisa menjadi inspirasi perkembangan dunia batik yang mulai menggeliat beberapa tahun terakhir ini.
“Sementara motif batiknya mengadopsi berbagai jenis tumbuhan asli di Kalimantan. Ada sebagian motif yang berhasil memenangkan kejuaraan motif batik tingkat nasional,” ungkapnya.
Batik Kalimantan juga punya keunggulan tersendiri dengan hanya mempergunakan zat pewarna yang gampang ditemui di alam. Lain halnya dengan industry batik saat ini banyak mengandalkan zat pewarna kimia yang sejatinya punya dampak negative terhadap penggunanya maupun alam sekitar.
“Bisa menimbulkan iritasi bagi mereka yang gampang alergi termasuk bekas zat pewarnanya yang berdampak negative terhadap tanaman,” ungkapnya.
Soal bahan bahannya tidak perlu cemas. Kekayaan alam negeri ini sejatinya sudah berlimpah menyediakan zat pewarna alamiah ramah lingkungan. Seperti mahoni untuk pewarnaan kain (coklat tua), teger (kuning – orange), jolawe (kuning pupus), jambal (coklat tua), lilin, daun tom (biru), kapur (biru kehitaman) dan tawas (warna lebih muda).
Kecerahan kain batik zat alam memang tidak secemerlang saat memanfaatkan zat zat kimia produksi pabrik. Namun semua itu bisa diakali lewat teknik pencucian kain batik yang semestinya tanpa mempergunakan sabun detergen.
“Kalau ingin kain batiknya awet dan tidak kusam, jangan pakai sabun deterjen saat mencuci kainnya,” papar Agus.
Sejak awal mula menekuni seni batik Kalimantan, Agus memang sudah menyatakan komitmennya menjaga keaslian seni asli Indonesia ini. Seni batik tradisional memang semestinya memanfaatkan zat zat pewarna alam – seperti kain biasa dipergunakan para bangsawan Jawa.
“Pangeran Diponegoro pada tahun 1800 an sudah lazim mengenakan baju kain batik ini. Tentunya zaman dulu memakai zat alami seperti kami pakai sekarang ini,” ungkapnya.
Ada konsekwensi pemanfaatan pewarna alamiah yang membuat ongkos produksi pembuatan kain batik melambung tinggi. Berimbas pada harga penjualan kain per meternya yang melambung hingga Rp 200 ribu atau sekitar lima kali dibandingkan batik pasaran yang dihargai sebesar Rp 20 ribu per meter.
Meskipun harga jual kain batiknya relative mahal, bukan lantas diartikan batik Kalimantan sepi order. Omzet penjualan batik Kalimantan besutan Agus sudah mencapai Rp 400 juta per bulannya. Order pemesanan bukan hanya datang dari pemerintah daerah, perusahaan bahkan sudah merambah pada masing masing pribadi yang sudah mengakui kualitas kain batik produksinya.
“Istri Wali Kota Balikpapan, ibu Arita rutin memesan kain batik produksi kami,” ujarnya.
Kain batik Kalimantan dinyakini menyimpan prospektif tinggi mengingat minimnya competitor yang menggeluti kain batik mempergunakan pewarna alami. Ada kecenderungan fenomena masyarakat Indonesia yang memberikan ekspektasi tinggi terhadap produk produk ramah terhadap lingkungan.
“Selain menjaga warisan negeri ini juga disebabkan minimnya saingan pengrajin kain batik yang masih memakai pewarna alami dalam memproduksi barangnya,” paparnya.