“Harusnya itu tidak boleh. Mereka pelaku usaha justru dapat kembangkan
biogas dari limbahnya sendiri. Saya minta Komisi II bersama Disperindagkop &
UMKM untuk mulai menelaah ini. Seperti yang sudah dilakukan di kota Salatiga,” terang pria yang biasa disapa ABS, Kamis (8/12).
Apalagi dari 80 kepala keluarga memiliki usaha industry kecil tahu tempe, 60 diantaranya sudah melakukan secara mandiri. Meski untuk pembangunan jaringan instalasi biogas memang dibutuhkan anggaran yang cukup besar yakni mencapai Rp 800 juta.
Dijelaskan ABS, Pemerintah Kota Salatiga maupun Pemprov Jawa Tenggah, begitu konsen dalam pengembangan usaha kerakyatan tersebut. Beberapa kebijakan yang mendorong suksesnya usaha ini yakni dengan menyalurkan dana bergulir kepada koperasi produsen tempe dan tahu Indonesia (Primkopti) yang kemudian diteruskan kepada 647 perajin tahun tempe.
Sementara itu, Kepala Bina Produksi Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi (Disperindagkop) Kota Balikpapan Ambo Dai menyatakan, sebenarnya sudah ada pemanfaatan limbah tahu tempe sebagai biogas yang dapat digunakan untuk proses pembuatan tahu dan tempe.
“Saat ini sudah ada yang diolah menjadi biogas. Namun jumlah yang dihasilkan masih teramat kecil sehingga. Nah untuk mencukupi dengan kapasitas produksi yang lebih banyak maka diperkirakan kita membutuhkan anggaran sekitar Rp 800 juta. Ini yang akan kita usulkan kedepan,” ucap Ambo
Begitupun soal teknologinya sudah ada namun masih dalam skala kecil. Karena itu Disperindagkop kata Ambo, akan mengadopsi pengolahan yang ada di Salatiga. “Jadi biogas itu nantinya bisa dimanfaatkan untuk rumah tangga maupun industrinya,” imbuhnya.
Saat ini produksi tahu tempe di Balikpapan, telah menghasil produksi sebanyak 30 ton per hari. Jumlah itu masih bisa meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk dan hari-hari raya tertentu. “Terutama saat memasuki bulan puasa, itu harus mendapat suplai yang besar. Tapi biasanya, kebutuhan itu ditambah dengan industri dari
luar,” tandasnya.