
Selanjutnya, mendesak perusahaan media menggunakan Undang-Undang Ketenagakerjaan dan koresponden berhak mendapatkan hak-hak pekerja. Menolak bentuk outsourching dalam hubungan tenaga kerja di perusahaan media.
Wartawan juga berhak atas peningkatan kapasitas dan patuh terhadap kode etik. Mendesak perusahaan pers tunduk dan patuh terhadap Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 Pasal 10 dan penjelasannya.
“Isinya perusahaan pers memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya,” tegasnya.
Saat ini, lanjut Dini perusahaan media semakin marak memperkerjakan jurnalis atau wartawan berstatus koresponden, kontributor atau stringer. Padahal dalam hukum ketenagakerjaan tidak dikenal istilah-istilah yang dipakai perusahaan media ini.
“Harusnya hanya dikenal pekerja waktu tertentu dan pekerja tidak tertentu,” ungkapnya.
Kondisi ketidakpastian ini terus dibiarkan. Dan perusahaan media kerapkali memanfaatkan ketidakjelasan status untuk mengingkari hak-hak pekerja yang diatur dalam undang-undang ketenagakerjaan. Yaitu upah layak, jaminan kesehatan, tunjangan melahirkan bagi pekerja perempuan dan tunjangan-tunjangan lainnya.
Dalam relasi perusahaan media dengan koresponden, menempatkan koresponden dalam posisi lemah. Perusahaan abai terhadap kesejahteraan koresponden, sekalipun kinerja, produktifitas dan kualitasnya bagus.
Dini mencontohkan salah seorang koresponden Tempo di Malang Jawa Timur, Bintariadi yang memperoleh perlakuan tidak semestinya. Bibin, panggilan akrabnya bekerja sejak 2001 di Tempo mengantongi segudang prestasi. Beberapa kali mendapat fellowship atas karja jurnalistiknya dari Society of Indonesian Enviromental Journalist (SIEJ) untuk isu globalisasi, AJI Indonesia tentang pengendalian tembakau dan perburuhan. Meraih juara pertama penulisan jurnalistik Departemen Pertanian, juara ke dua lomba jurnalistik tentang sanitasi yang diselenggarakan AJI Malang serta juara pertama lomba jurnalistik Pertamina kategori energi terbarukan.
Semestinya, Bibin atas penghargaan Pertamina mengikuti visit media ke BBC London, Inggris. Namun, impiannya mengunjungi perusahaan media di Inggris kadas.
Saat ini, Bibin tergolek sakit sejak Desember 2011 akibat penyakit Meningitis (radang selaput otak) menggerogoti kondisi fisiknya. Biaya pengobatan dan operasi mencapai Rp 50 juta lebih. Sedangkan manajemen Tempo saat itu hanya memberi bantuan kesehatan sebesar Rp 1 juta.
Kondisinya kian memburuk setelah terjadi infeksi pasca operasi. Sehingga, Bibin pun kembali menjalani perawatan menghabiskan biaya sekitar Rp 28 juta. Perusahaan memberikan bantuan sebesar Rp 10 juta. Untuk melunasi tagihan biaya rumah sakit, keluarga menjual harta benda dan mengandalkan bantuan dari teman dan kawan seprofesi. Hadiah dari Pertamina sebanyak Rp 25 juta pun ludes untuk membiayai operasi.
Kini, Bibin menjalani perawatan di rumah karena tak mampu membayar biaya pengobatan, dengan kondisi tak sadarkan diri (koma). Mestinya, baik keluarga Bibin dan perusahaan tak terbebani membayar biaya pengobatan yang tak murah jika sebelumnya Bibin masuk dalam jaminan sosial tenaga kerja atau asuransi kesehatan. Meski telah mengabdi selama 11 tahun, tidak ada jaminan kesehatan buat Bibin.