Berebut Warisan Pasir Blengkong

Rumah yang dirobohkan di lokasi sengketa

Rumah yang dirobohkan di lokasi sengketa

Balikpapan –

Kesultanan Pasir Blengkong sudah dihapuskan pemerintah colonial Hindia Belanda sejak 1906 silam, namun sisa sisa warisannya masih terasa hingga sekarang. Minimal, ini yang kini jadi persengketaan antara Nurdin (50 tahun) dan Noorhanuddin (58 tahun) atas tanah seluas 7.068 hektare yang konon jadi warisan raja terakhir Kesultanan Pasir Blengkong Sultan Aji Ibrahim Chaliudin.

“Dulunya di wilayah ini adalah kekuasaanya Kesultanan Pasir Blengkong,” kata Noorhanuddin yang mengklaim sebagai cicit kerajaan di Bumi Borneo ini.

Kekuasaan colonial pula yang menahan, Sultan Aji Ibrahim Chaliudindi  Karisidenan Banjarmasin dibawah pemerintahan Belanda. Sultan ini kemudian membuat perjanjian dengan dengan Residen Segala Tanah Sebelah Selatan dan Timur Pulau Kalimantan di Banjarmasin, Sri Paduka Tuan Julius Broers pada 18 Juli 1898 silam.

“Sultan meminta agar tanah garapannya diserahkan pada anak turunnya. Karena dia sadar tidak akan dilepaskan pihak Belanda,” papar Noorhanuddin.

Pemerintah Belanda menerbitkan surat kepemilikan tanah seluas puluhan ribu hektare di negari Semuntai dan Adang.  Surat tanah berusia ratusan tahun dibuat beralaskan kain kasar tebal yang sebagian tulisan bahasa Arab gundulnya sudah memudar.

“Saya sudah memeriksa stempel dan nama ini di museum Negara dan keserupaan tanda tangan dan stempelnya sangat identik,” katanya.

Namun kelanjutannya status kepemilikan tanah Kesultanan Pasir Blengkong disoal Nurdin yang notabene adalah masih ada hubungan keluarga dengan Noorhanuddin. Bila diruntut runtut keduanya masih ada silsilah keturunan dengan Sultan Aji Ibraim Chailuddin.

“Istri saya yang punya silsilah keluarga yaitu dari Aji Dio yang merupakan cucu Sultan Pasir Blengkong,” papar Nurdin.

Lewat silsilah istrinya ini, Nurdin mengaku dipercaya jadi pemegang kuasa surat segel atas tanah seluas 7.063 hektare milik Aji Dio di wilayah yang dulunya kekuasaan Kesultanan Pasir Blengkong. Segel tanah tahun 1964 ini bertanda tangan Wedana Paser Selatan, Hasanuddin.

“Sejak dulu keluarga saya sudah menanam rotan dan buah buahan di wilayah ini hingga baru baru ini ada yang mengklaim sebagai pemiliknya,” kata Nurdin.

Kasus ini kemudian diselesaikan di meja hijau hingga proses kasasi di Mahkamah Agung. Uniknya, masing masing pihak saling mengklaim memenangkan kasus persidangan perdata ini.

“Saya kalah di pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. Tapi saat kasasi, saya yang menang,” kata Nurdin yakin.

Demikian pula Noorhanuddin yang tidak kalah optimis seraya menunjukan salinan putusan kasasi MA.

“MA menolak tuntutan pihak penggugat (Nurdin) serta membayar biaya perkara. Ini sudah jelas tercantum dalam putusan MA,” ungkapnya.

Sejak semula, Noorhanuddin sudah enggan meneruskan kasus sengketa ini hingga proses persidangan. Dia malahan sempat menawarkan jalur damai agar kasusnya diselesaikan dengan cara kekeluargaan.

“Dia menolak ajakan ini dan menantang ke jalur hukum. Saya keturunan raja kok ditantang, ini harga diri saya sehingga dihadapi saja,” tegasnya.

Saat memenangkan sengketa lahan ini, Noorhanuddin berinisiatif menghibahkan seluruh seluruh kawasan yang sebagian diantaranya sudah dikuasai ratusan kepala keluarga. Dia hanya meminta agar warga mendoakan almarhum leluhurnya dari Kesultanan Pasir Blengkong.

“Hibahkan saja untuk warga, saya hanya minta agar didoakan pada almarhum leluhur saja,” ujarnya.

Namun, Nurdin balik menuding kebaikan Noorhanuddin ini hanya akal akalannya dengan Kepala Desa Rantau Panjang, Ilyas. Lewat jasa kades ini pula diterbitkan surat kepemilikan tanah yang nilai dihargai sekitar Rp 50 juta per hektarenya.

“Mereka ada kerjasama dalam masalah ini,” katanya. Tuduhan yang langsung dibantah Noorhanuddin.

“Sudah lama saya tidak ketemu Ilyas, itupun saat masih jadi pegawai negeri sipil,” kata bekas Asisten 1 Pemkab Paser ini.

Nurdin menyebutkan ambisi penguasaan lahan mulai terungkap saat ada rencana pembangunan bandar udara Kabupaten Paser yang berada di wilayah Rantau Panjang. Mulai tahun 2006 lalu, muncul berbagai aksi klaim kepemilikan tanah termasuk perusakan rumah di wilayah tersebut.

“Dahulu dikasih tanah saja tidak mau, sekarang berebut karena nilainya sudah mahal di pasaran,” tuturnya.

Saling tuduh, sindir serta ancaman masih kerap terjadi diantara dua keluarga tersisa dari kerajaan ini. Satu pasti, kasus persengketaan tanah kerajaan sudah memiliki kekuatan hukum yang tetap. Pemenang gugatan kasus ini punya hak mengeksekusi status kepemilikan lahan sesuai ketentuan hukum berlaku.

“Saya serahkan pada warga saja, biar mereka yang mengelolanya. Sepertinya ini juga jadi keinginan kesultanan agar lahannya diserahkan pada warganya,” ujar Noorhanuddin.

Berita Terkait

1 Comment

  1. hadi says:

    Masih banyak warisannya, dinegeri jiiran (malasyia) juga ada. surat surat tanahnya sekarang dipegang oleh Yang Dipertuan Agung Malasyia. cek aja kesana, kalau anda merasa ber hak

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *