Permasalahan tersebut, lanjut Abraham terungkap dalam proses persidangan Mahkamah Konstitusi dimana Kalimantan Timur menuntut keadilan perimbangan dana migas. Mereka meminta MK melakukan uji materi Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah.
“Tim ahli kami mampu memberikan kajian ilmiah tentang masalah itu, tapi pemerintah pusat tidak mampu. Semua ini politis,” ujarnya.
Abraham mengatakan semestinya Kalimantan Timur menerima bagian dana migas sebesar 30 persen dari total produksi per tahunnya mencapai Rp 370 triliun. Dana sebesar tersebut mencukupi bagi Kalimantan Timur dalam mengejar ketertinggalan pembangunan infrastruktur disbanding Jawa.
“Sisanya untuk pemerintah pusat dan perusahaan migas,” tuturnya.
Kalimantan Timur, kata Abraham tetap berkomitmen memperjuangkan dana bagi hasil yang adil lewat jalur konstitusional. Warga setempat masih enggan memperjuangkan nasibnya seperti sudah ditempuh Provinsi Aceh maupun Papua.
“Apa perlu bersitegang dahulu baru diperhatikan ? Kami masih memilih jalur damai,” paparnya.
Masyarakat Kalimantan Timur masih menunggu putusan MK sehubungan gugatan dana bagi hasil tersebut. Diperkirakan putusan gugatan itu akan disampaikan pada pertengahan Mei nanti.
Sebelumnya, Pakar Energi, Kurtubi mengatakan sudah selayaknya daerah penghasil mempertanyakan dana bagi hasil minyak gas dengan pemerintah pusat. Dia mengaku ragu akan sistim pembagian dana minyak gas antara perusahaan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), pemerintah pusat dan daerah penghasil.
“Banyak kejanggalan dalam pembagian dana bagi hasil minyak gas,” paparnya.
Kurtubi menyoroti tentang kewenangan BP Migas dalam menentukan besaran dana cost recovery yang disampaikan perusahaan KKKS. Dalam faktanya, dana cost recovery perusahaan KKKS selalu terjadi peningkatan setiap tahunnya.
“Semestinya dana cost recovery terus turun namun yang terjadi disini sebaliknya, meningkat terus,” ungkapnya.
Alokasi dana cost recovery tahun pertama semestinya sudah mampu melunasi biaya eksplorasi dan eksploitasi perusahaan migas. Sehingga pada tahun tahun selanjutnya, perusahaan KKKS sudah tidak terbebani pengadaan berbagai peralatan pengeboran minyak gas.
“Semestinya berbagai peralatan pengeboran minyak ini sudah terlunasi pada tahun pertama produksi,” katanya.
Karenanya, Kurtubi mempertanyakan transparasni BP Migas yang selalu mensetujui pengajuan dana cost recoverty perusahaan KKKS. Sebagai lembaga yang mengatur perputaran uang hingga ratusan triliun rupiah, menurutnya BP Migas dilengkapi susunan jabatan komisaris yang berwenang mengawasi kinerjanya.
“Aneh, BP Migas kok tidak ada komisaris dalam jabatannya,” ungkap praktisi yang siap jadi saksi ahli masyarakat Kalimantan Timur.
Gubernur Kalimantan Timur, Awang Faroek Ishak mengatakan daerah penghasil semestinya berhak dana perimbangan migas sebesar Rp 62 triliun atau naik 60 persen dibandingkan realitas saat ini. Sebagai daerah penghasil, Kalimantan Timur memperoleh alokasi dana bagi hasil sebesar Rp 10 triliun sedangkan Kutai Kartanegara Rp 5 triliun.
Awang optimis besaran dana ini mampu memacu pembangunan infrastruktur Kalimantan Timur dibandingkan kota/kabupaten di Jawa. Dana ini juga bermanfaat untuk reklamasi kerusakaan lingkungan akibat praktek pertambangan dan pembalakan kayu Kalimantan Timur.