Pemerintah Diminta Lindungi Media Mainstream

NewsBalikpapan –

Pemerintah diminta lebih berpihak melindungi keberlangsungan  media mainstream di era milenial. Eksistensi media massa Indonesia kian terdesak penetrasi media sosial; Google, Facebook, Instagram, Youtube, WhatsApp, dan lainnya.

“Pemerintah harus berpihak melindungi keberlangsungan media mainstream di tanah air,” kata Direktur Eksekutif Komunikonten Hariqo Wibawa Satria dalam diskusi bersama Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Kalimantan Sulawesi di Makassar, Selasa (8/10/2019).

Hariqo mengeluhkan, pemerintah yang cenderung bersikap netral menyikapi persaingan usaha diantara keduanya. Sebaliknya, pemerintah dianggap berpangku tangan menyikapi kolapsnya sejumlah media massa tanah air.

Padahal dari negara asalnya Amerika Serikat, media sosial memperoleh proteksi luar biasa. Negeri  Paman Sam sangat protekfif menjaga eksistensi media sosial ini dari gangguan negara lain.

Bukan lagi menjadi rahasia dimana pemilik konten media sosial mayoritas merupakan warga negara Amerika Serikat.

 “Barrack Obama saat masih menjabat presiden Amerika Serikat sangat marah bila Google, Facebook dan Instagram diganggu. Amerika sangat melindungi industri media sosialnya, semestinya ini juga dilakukan pemerintah kita,” papar Hariqo.

Bahkan kalau perlu, pemerintah diminta mencontoh keberanian Tiongkok dan Korea Selatan (Korsel) melawan kekuatan Google. Dua negara ini memaksa mesin pencari daring mematuhi ketentuannya.

Hariqo menilai, langkah Tiongkok dan Korsel tepat melawan kekuatan Google. Karena faktanya, porsi pembagian iklan media social dan media mainstream memang tidak adil.

Padahal, mereka memanfaatkan konten media mainstream guna meningkatkan jumlah pengunjung.

“Akibatnya, pengiklan memilih memasang iklan di media sosial dibandingkan media mainstream. Padahal konten media social berasal dari media mainstream,” ungkapnya.

Sehubungan itu, Hariqo meminta pemerintah segera merumuskan undang undang spesifik mengatur tentang perlindungan persaingan usaha digital. Aturan ini mengatur porsi pembagian kue iklan diperoleh media mainstream dan media social di Indonesia.

Selain itu, Hariqo pun mendorong DPR RI mengesahkan rencana undang undang tentang pemanfaatan data pribadi masyarakat. Undang undang ini bisa mengurangi penyalahgunaan media sosial melanggar kepentingan publik.

“Seperti contohnya batas minimal umur seseorang membuat akun media sosial. Permasalahannya, undang undang ini pun tidak kunjung disahkan DPR RI,” sesalnya.

Apalagi intervensi pemerintah terlambat dilakukan, Hariqo khawatir media massa Indonesia tergerus perkembangan zaman. Media massa gagal mengakomodir keinginan public, menurutnya akan ditinggalkan pembaca.

“Kalau sudah dianggap tidak berguna, pasti akan ditinggalkan pemirsa,” ujarnya.

Sementara itu, Dewan Pers menyatakan, media massa Indonesia harus menjaga prinsip jurnalistik melawan media sosial. Kualitas media mainstream menjadi pembeda signifikan dibandingkan media sosial.

“Harus selalu melaksanakan proses verifikasi, check and balance,” ujar Anggota Dewan Pers Ahmad Djauhar.

Selain itu, Djauhar pun menyoroti pentingnya peningkatan kompetensi wartawan menghadapi persaingan. Sehingga pada akhirnya, wartawan bersangkutan mampu memproduksi materi jurnalistik bermutu sesuai kebutuhan masyarakat.

“Agar media massa mencomot 70 persen materinya berasal dari media sosial. Sehingga akhirnya media massa terjebak hoaks dihasilkan media sosial,” sesalnya.

Itu sesuai fenomena saat ini dimana terjadi pertumbuhan 47.000 media online di Indonesia. Dewan Pers hanya mampu memverifikasi 3 ribu media online sesuai ketentuan Undang Undang Pers.

“Kami tidak akan mampu memverifikasi seluruh media online saat ini,” tutur Djauhar.

Co Founder Katadata Metta Dharmasaputra menyatakan, era keemasan startup dan media online sudah berakhir. Sekarang ini keduanya diminta mampu menghasilkan keuntungan bagi pemilik modal.

“Eranya bakar bakar uang sudah lewat, sekarang waktunya menghasilkan keuntungan. Startup dan media online harus sesuai kebutuhan masyarakat,” ujarnya.

Khususnya bagi media online dituntut menampilkan diferensiasi konten berita sesuai keinginan publik. Disamping pula platform media  yang mengkolaborasi konten artikel cetak, broadcast gambar, suara hingga desain grafis.

“Harus mampu membuat konten berkualitas sekaligus kreatif. Kalau tidak mampu akan ditinggalkan konsumen,” papar Metta.

Media online kreatif seperti ini yang mampu survival menghadapi persaingan. Sehingga akhirnya memperebutkan belanja iklan Indonesia yang terus meningkat hingga 2021 nanti.

“Gross domestic product (GDP) meningkat dari 3,6 juta US dolar menjadi 5,7 juta US dolar. Kelompok kelas menengah atas, sector perbankan, penetrasi telpon pintar, dan kelompok warga berpendidikan tinggi,” paparnya.

Berita Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *