Peliknya Memulihkan Ekosistem Teluk Balikpapan

NewsBalikpapan –

Pantai Melawai Balikpapan Kalimantan Timur (Kaltim) menyisakan aroma anyir laut bercampur minyak, Minggu (21/4/2019). Beberapa bongkahan batu karang pantai berwarna legam terciprat tumpahan minyak setahun silam.

Media terkemuka Tempo kolaborasi News Balikpapan membuka kembali peristiwa bencana lingkungan menggegerkan pelosok negeri.

Lokasi pantai  belakang Gedung Banua Patra menjadi perhatian.  Area ini paling terdampak tumpahan 5 ribu kilo liter minyak Teluk Balikpapan.

Jangkar kapal MV Ever Judger mematahkan pipa minyak mentah di dasar  perairan teluk.

Bencana lingkungan menimbulkan kebakaran hebat di perairan teluk yang merengut lima jiwa pemancing lokal setempat.

Tumpahan minyak ini akhirnya menjadi persoalan pelik seluruh masyarakat Balikpapan. Perairan laut mendadak menghitam berbau minyak.

Puluhan personil TNI/Polri menggayungi tumpahan minyak bercampur air laut  kedalam drum.

Pertamina lantas mengamankannya ke fasilitas penampungan bahan beracun berbahaya (B3).

Setali tiga uang, kondisi sama pun dialami perkampungan atas air, Kelurahan Margasari Balikpapan Barat. Lokasi perkampungan nelayan ini salah satu yang paling terdampak tumpahan minyak.

Letaknya memang bersebelahan dengan area kilang pengolahan minyak Pertamina Balikpapan. Sehingga tidak heran, sisa sisa bencana masih nyata disana.

Aroma serta bercak minyak menempel di sebagian pilar rumah kayu perkampungan berpenghuni 80 kepala keluarga ini.

Genap setahun, warga masih merasakan dampak penccemaran.

Tanaman bakau sekeliling perkampungan sudah mengering lantas mati.

Dulunya, bakau rimbun mengelilingi perkampungan nelayan di Pantai Klandasan ini.

“Seminggu setelah terkena minyak sudah langsung menguning dan sekarang mati,” keluh Ketua RT 29 Kelurahan Margasari, Warsito.

Kerusakan bakau menyisakan ranting pohon mengering tanpa daun dan lapuk.  Sebanyak 30 hingga 40 persen tanaman bakaunya dipastikan mati.

“Tanaman dewasa berumur 10 tahun saja mati, apalagi yang baru ditancapkan. Totalnya mungkin ribuan diantaranya mati,” ungkap Warsito.

Hewan kepiting dan cacing laut biasanya lazim ditemui pun kini langka. Nelayan terpaksa melaut lebih dalam memasuki perairan Selat Makassar.

“Sudah tidak ada kepiting dan pompon (cacing laut) disini. Kami berlayar lebih dalam ke perairan laut. Anak anak bahkan dilarang lagi berenang disini akibat pencemaran,” tukas Warsito.

Pun demikian demikian dialami Mangrove Centre Balikpapan. Hutan bakau menjadi lokasi ekowisata masyarakat Kaltim.

“Tanaman di tempat kami juga banyak yang mati,” kata Pengelola Mangrove Centre Balikpapan, Agus Bei.

Meskipun demikian, hutan bakau ini lebih beruntung mengingat sebagian kecil tanamannya yang terdampak. Pendataan diketahui jumlah tanaman yang mati sebanyak 25 persen dari total keseluruhan kawasan.

Mangrove Centre Balikpapan menjadi salah satu area bakau tidak terlalu terpengaruh limbah.

Kalaupun ada yang mati, disebabkan kualitas tanaman bersangkutan dalam bertahan hidup. Tanaman bakau yang mati mayoritas tumbuh tanpa campur tangan manusia.

“Kalau mati karena limbah, berarti bukan mangrove yang bagus,” tukas Agus.

Mangrove Centre tumbuh rimbun berkat tangan dingin Agus Bei menanami ribuan bibit bakau sejak 2001 silam. Sebelumnya, perumahan Graha Indah pinggiran Sungai Somber  ini gersang akibat pembabatan hutan bakau.

Kini, lokasinya sudah tumbuh hutan bakau seluas 150 hektare. Selain bakau sengaja ditanam – turut tumbuh pula bakau alami.

Sehingga, ada dua jenis tanaman di Mangrove Centre Balikpapan; bakau alami dan budi daya manusia.

“Tanaman yang tumbuh alami ini yang mati di wilayah kami,” ungkap Agus yang meraih Piala Kalpataru dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Tanaman bakau alami cenderung lemah bertahan dari limbah dan polusi. Akar tanamannya tidak dalam menghujam tanah.

Sehingga saat limbah minyak datang – tanamannya tidak mampu bertahan.

Sebaliknya, tanaman sengaja ditanam memperoleh perlakuan istimewa. Semisal pemilahan bibit (propagu) matang dipetik langsung dari inang.

Bibit ini lantas ditancapkan dalam tanah dengan disangga kayu ulin. Tujuannya agar tanaman muda tidak larut terbawa air pasang.

Selama kurun waktu tertentu, perawatan dilakukan intensif memastikan kebersihan areanya dari sampah plastik. Pemasangan jaring sampah jadi pilihan agar tidak menimbun kawasan bakau.

Tanaman bakau yang baik punya kelengkapan struktur akar alami; akar tunjang, napas, serabut, udara, lutut dan papan. Enam akar yang dimiliki ini berguna sebagai benteng pertahanan terhadap polusi lingkungan.

“Tanaman bakau alami hanya memiliki akar serabut untuk bernapas dan menyerap mineral. Saat akar serabutnya tergenang minyak, ia akan mati,” sebutnya.

Bakau sejenis tanaman yang punya ketahanan luar biasa menangkal permasalahan lingkungan. Persoalan disini meliputi ancaman abrasi, limbah, pasir dan sampah masyarakat.

“Tuhan menciptakan tanaman ini menahan dampak kerusakan alam,” sebut Agus.

Kerusakan hutan bakau Balikpapan sudah jauh hari diprediksi. Dosen Universitas Mulawarman Samarinda, Deddy Hadriyanto sempat memaparkan kajiannya soal kerusakan ekosistim Teluk Balikpapan pasca tumpahan minyak.

Dalam kasus ini, korban pertama terdampak adalah hutan bakau perairan teluk. Seluas 300 hektare bakau Balikpapan diprediksi tidak mampu bertahan.

“Hutan bakaunya tersebar di wilayah Balikpapan dan Penajam Paser Utara,” tuturnya.

Kandungan zat minyak mempunyai sifat panas yang bertolak belakang keberlangsungan hidup tanaman. Persoalannya kian pelik saat limbah menyelimuti tubuh dan pucuk akar tanaman.

“Akarnya sulit menyerap mineral dan udara sekitarnya,” ungkap Deddy.

Dalam kajian ahli ini, ada dua lokasi bakau yang kedapatan rusak; Kelurahan Margasari dan Margomulyo Balikpapan. Bukan hanya itu, delapan sungai anakan Teluk Balikpapan turut terancam, Sungai Lundo, Hutan Lindung Sungai Wain, Baru, Barangan, Tepadung, Balong, Riko, dan Perayan.

Kerusakan hutan bakau diperkirakan terjadi bertahap, kurun waktu satu – dua tahun kedepan. Kematiannya dimulai daun menguning disusul pembusukan akar tanaman.

“Kerusakan bakau memang belum terlihat di wilayah ini, namun tanda tandanya sudah ada,” sebutnya.

Rusaknya hutan bakau menjadi kerugian. Fungsinya teramat penting sebagai benteng abrasi dan sumber makanan satwa.

Apalagi, bukan perkara mudah memulihkan hutan bakau Balikpapan berusia belasan tahun. Seluruh kawasannya terlebih dahulu steril dari limbah.

“Butuh kerja keras dan komitmen bersama. Selain itu juga butuh biaya yang besar mengembalikan hutan mangrove ini. Apalagi kita tahu fungsi hutan bakau bagi lingkungan,” ujar Deddy.

Soal dampak kerusakan alam, Pemerintah Kota Balikpapan sempat menghitung ganti rugi nelayan setempat sebesar Rp 1,8 miliar. Mereka ini adalah nelayan yang terdampak langsung tumpahan limbah minyak.

Ada 1.016 jiwa nelayan yang tersebar di tiga kecamatan. Masing masing nelayan Balikpapan diusulkan memperoleh ganti rugi sebesar Rp 200 ribu kali sembilan hari periode masa perairan penuh minyak.

LSM Forum Pemerhati Teluk Balikpapan punya catatan sendiri dengan perhitungan pendapatan Rp 600 ribu sekali melaut. Jumlah kasar nelayan Balikpapan dan Penajam pun diperkirakan sebanyak 5 ribu jiwa.

Apalagi kini nelayan kini sudah tidak bisa lagi menangkap ikan di perairan Teluk Balikpapan.

“Mereka mencari ikan lebih masuk ke dalam perairan laut, butuh modal, dan usaha lebih banyak. Perairan teluk belum pulih hingga sekarang,” tutur Koordinator Forum, Husen.

Seorang nelayan Balikpapan, Sakiran, menambahkan terpaksa kerja ekstra keras guna menghidupi kehidupan keluarganya. Nelayan setempat harus bermodalkan peralatan lebih canggih memasuki perairan selat.

“Kalau pergi ke laut luar tentunya harus pakai alat tangkap dan kapal yang berbeda. Membutuhkan modal yang lebih banyak dibandingkan melaut di Teluk Balikpapan,” ujarnya.

Sakiran bahkan kesulitan memperkirakan pendapatan bersihnya setiap kali pulang dari melaut. Padahal dulunya, nelayan mengantongi pendapatan bersih Rp 600 ribu setiap pulang melaut.

Setahunan ini, Pertamina jadi ujung tombak pemulihan lingkungan kawasan teluk. Perusahaan migas nasional ini mengerahkan belasan kapal menyapu ceceran limbah minyak mempergunakan oil boom skimmer.

“Petugas di daratan bersama masyarakat juga mengevakuasi minyak yang melekat di limbah padat warga. Seluruhnya kami kelola sebagai limbah B3 dengan pihak ketiga,” tutur Manager Communication & CSR Pertamina Balikpapan, Yudi Nugraha, Selasa (2/4/2019).

Pertamina Balikpapan punya sistem mandiri pengelolaan limbah minyak. Selama ini, kilang punya fasilitas saluran bak pengumpulan minyak (sump) terhubung dengan instalasi pengolahan air limbah (IPAL).

Bukan hanya itu, Pertamina pun melengkapi peralatan penangkap minyak di perairan sebagai sarana pencegahan pencemaran. Fasilitas vacuum truk juga standby mendukung dalam kondisi emergency.

“Minyak dikelola kembali dan  disimpan dalam tangki penyimpanan minyak,” tutur Yudi.

Pertamina Balikpapan dalam proses pemulihan lewat pemantauan parameter Total Petroleum Hydrocarbon area tercemar. Langkah pengumpulan basis data ini dimaksutkan guna mengintensifkan kegiatan di lapangan.

Laporan berkelanjutan 2017,  Pertamina Balikpapan memiliki fasilitas pengolah air limbah, sour water stripper (SWS) dan effluent water treatment plant (EWTP). Fasilitas ini masing masing mampu mengolah 100 m3 / jam dan 500 m3 / jam air limbah.

SWS merupakan fasilitas pengolah air limbah agar dimanfaatkan kembali. Sedangkan EWTP merupakan fasilitas guna memastikan pengolahan terakhir air limbah sebelum dibuang ke badan air.

Sepanjang tahun itu, Pertamina Balikpapan melepaskan 84.036 M3 limbah cair terolah ke perairan teluk. Jumlahnya menurun 67 persen dibandingkan tahun sebelumnya atau 253.180 M3.

Namun demikian, limbah B3 Pertamina Balikpapan mengalami peningkatan menjadi 38.345,16 ton dibandingkan volume tahun sebelumnya berturut 7.268,8 ton (2016) dan 376,8 ton (2015).

Pertamina Balikpapan memanfaatkan teknologi sludge oil recovery (SOR) dalam proses pembersihan tangki minyak. Teknologi mampu menekan kuantitas limbah padat sisa pembersihan sebelum diserahkan ke pengelola limbah yang berizin.

Pertamina diserahi tanggung jawab pemulihan lingkungan kawasan teluk. Rencana serta realisasi lapangan sepenuhnya dalam komando KLHK.

“Kami yang melakukan monitoring semua kinerja dilakukan Pertamina dalam pemulihan lingkungan,” kata Kepala Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Kalimantan, Nunu Anugerah.

Tumpahan minyak ini dipastikan menimbulkan dampak gugatan perdata warga hingga kerusakan lingkungan keanekaragaman hayati di perairan teluk.

Sanksi administrasi sudah dijatuhkan ke Pertamina agar memulihkan lingkungan terdampak pencemaran minyak.

“Kami merekomendasikan perbaikan sistim internal atau SOP penanggulangan pencemaran minyak,” tegas Nunu.

KLHK memetakan area tercemar seluas 13 ribu hektare meliputi perairan Teluk Balikpapan, Penajam Paser Utara, Delta Mahakam Kutai Kartanegara hingga Selat Makassar. Proses pemulihan lingkungan diyakini memakan waktu bertahun tahun kedepan.

“Soal kerusakan lingkungan pastinya tidak bisa dalam waktu sebentar. Selama itu, tugas kami terus memantau apa saja sudah dilaksanakan Pertamina,” ujar Nunu.

Berita Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *