Kerusuhan etnis antar suku pecah di Sampit Kalimantan Tengah, Februari 2001 silam. Massa lokal seakan murka membantai warga pendatang yang dianggap mendominasi sumber daya sosial ekonomi kala itu.
Asal muasal kerusuhan masih misteri hingga kini. Satu hal yang pasti – ratusan jiwa melayang percuma, ribuan lainnya mengungsi keluar Kalimantan.
“Kengerian kerusuhan di Sampit luar biasa saat itu,” kata Panglima Komando Pengawal Pusaka Adat Dayak Borneo, Abriantinus, Jumat (9/2).
Hanya dalam tempo singkat korban berjatuhan, tanpa mengenal umur maupun jenis kelamin. Beberapa korban ditemukan dalam kondisi dipenggal kepalanya.
Praktis, kota Sampit lumpuh sepanjang kerusuhan etnis yang berlangsung setahun itu. Sentimen pada satu etnis tertentu masih terasa hingga kini.
Tradisi perang merupakan bagian Suku Dayak. Zaman dulu, peperangan antar suku, kayau, pembantaian hingga genosida menjadi kehidupan suku pedalaman. Konon, mereka bisa mengenali aroma tubuh setiap musuh musuhnya. Semua berkat bantuan para sahabat atau roh leluluhur yang kerap membantu masyarakat Dayak.
Adapun istilah kayau adalah pemenggalan kepala musuh sebagai simbol kemenangan perang. Pedang untuk memenggal juga khusus, sejenis mandau batu besi pelengkap tradisi kayau.
Seusai memenggal, gagang pedang ini dilubangi sebagai simbol pengingat pemiliknya. Satu lubang menandakan satu jiwa sudah menjadi korban pedang mandau ini.
Selain itu, gagang pedang mandau akan dihias dengan rambut kepala musuhnya itu. Segala hiasan ini dipercaya membuat pedang mandau semakin memiliki kekuatan magiz.
Cerita turun temurun ini yang kemudian diwariskan kepada anak cucu Suku Dayak. Penganut kaharingan ini percaya para sahabat yang membuat prajurit menang di pertempuran.
Para sahabat dihadirkan lewat upacara adat pemanggilan roh leluhur. Berbagai sesajian hewan kurban dipersembahkan di lokasi dianggap keramat dan angker. Hingga kini pun warga pedalaman Kalteng masih rutin menggelar upacara adat.
Asal muasal roh pelindung berasal dari Dusun Pamangka di Barito Selatan Kalteng. Dusun ini punya benang merah dengan kerajaan purba Nun Sarunai di Amuntai abad 13 silam.
“Para pelindung dan roh Suku Dayak berasal dari sini,” kata juru kunci Situs Tuga Pamangka Barito Selatan, Atung Asep (75 tahun).
Semasa itu, hukum rimba menjadi satu satunya jalan penyelesaian masalah. Tradisi perang antar suku menjadi lazim untuk menguasai suatu wilayah kelompok lain. Dalam suatu pertempuran – kelompok pemenang menerapkan tradisi kayau atau penggal kepala kepada musuh musuhnya. Mereka memenggal kepala semua yang berjiwa termasuk hewan peliharannya.
“Kepala musuh akan digantung di pohon yang dianggap keramat,” papar Atung.
Dusun Pamangka menjadi tempat persemayanan terakhir sembilan Pangalima Suku Dayak berjuluk pangintuhu : Nunan bin Matagum, Sampu, Ginap, Nyunre, Natan, Wadjun, Ginro, Hendrik dan Bane.
Para pangalima ini dipercaya menjadi pelindung benteng gaib pelindung Dusun Pamangka. Benteng gaib ini menjadi perjanjian antara tetua Suku Ma’anyan dengan para roh leluhur.
“Mereka membantu kami disaat warga Dayak dalam posisi terdesak saja. Turun kembali ke bumi lewat upacara adat tetua adat,” papar Atung yang mengaku menjadi keturunan para pangintuhu ini.
Masa modern kini, tradisi penggal kepala hanya menyisakan sebuah seni tarian kayau. Lain ceritanya, kini seni tradisi ini dipelihara komunitas suku Mak Uwak yang berdiam di pelosok Mahakam Ulu Kalimantan Timur. Meski begitu – jenis tarian ini dianggap tabu sehingga tidak sembarangan dimainkan.
“Istilahnya tarian terlarang, kami larang setiap orang untuk mempelajarinya. Karena dipercaya akan membawa kesialan bagi kami warga dusun,” kata Kepala Adat Suku Mak Uwak, Avun Ingan (54 tahun).
Tarian kayau bisa dimainkan dikala memperoleh persetujuan seluruh komunitas Mak Uwak. Itu pun kala momentum rapat besar menyangkut peristiwa besar perkampungan.
“Para penarinya adalah pria dewasa dengan mempelajari gerakannya sesaat jelang pementasan. Tradisi penggal kepala manusia diganti menebas kepala hewan babi maupun ayam,” kata Avun.
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyebutkan ada 700 komunitas adat tradisional berdiam di seluruh Kalteng. Mereka ini merupakan kelompok masyarakat Suku Dayak tradisional yang berdiam di daerah hutan adat Kalteng.
“Hanya 340 diantara komunitas adat yang resmi masuk dalam data AMAN. Sisanya menunggu pengesahan dari kongres AMAN nanti,” kata Ketua AMAN Kalteng, Simpun Sampurna.
Simpun mengatakan, masyarakat Suku Dayak terbagi dalam sembilan sub klan utama terdiri Ma’anyan, Ngaju, Ot Danum, Siakng Murung, Meratus, Bakumpai, Dusun Bayan, Dusun Taboyan dan Mendawai. Dari sembilan klan utama ini, kata dia masih terpecah ratusan sub suku lainnya yang jumlahnya mencapai ratusan.
“Dusun Pamangka ini termasuk diantara komunitas warga adat yang ada di Kalteng ini,” ungkapnya.
Kementerian Dalam Negeri menerbitkan aturan yang memberikan perlindungan hukum keberadaan adat di Indonesia. Masyarakat adat di Indonesia diakui menjadi nilai kearifan lokal bumi nusantara.
“Peraturan ini sudah ada sejak zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namun implementasi di lapangan belum jalan hingga kini. Hanya lembaga swadaya masyarakat yang aktif mengupayakan hak hak warga adat ini,” tuturnya.
Adanya Peraturan ini, Simpun menyebutkan, pemerintah daerah seharusnya langsung bereaksi dengan melakukan verifikasi dan validasi data keberadaan masyarakat adat di wilayahnya. Namun pada kenyataannya, AMAN seorang diri melakukan pendataan keberadaan warga adat di seluruh Indonesia. Semisal di Kalteng ini, Simpun berani merekomendasikan 12 komunitas adat yang layak memperoleh penetapan hukum dari pemerintah daerah setempat.
“Sebanyak 12 komunitas adat sudah kami petakan keberadaannya sebagai area tradisional Suku Dayak dan sebanyak 9 lainnya dalam proses pengerjaan,” ujarnya.
Penetapan komunitas adat akan memberikan kepastian perlindungan hukum dan eksistensi masyarakatnya. Dalam beberapa kejadian, komunitas warga adat acap kali menjadi korban konflik agraria hingga kriminalisasi melawan perusahaan perkebunan maupun pertambangan.