Ragu Tes Swab di Markas Aktivis Samarinda

NewsBalikpapan –

Aktivitas Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Timur (Kaltim) praktis lumpuh. Gembok tembaga sekepalan tangan orang dewasa membatasi rutinitas sekretariat dibilangan Jalan Gitar Kelurahan Dadi Mulya Samarinda.

“Sudah tidak ada orang disitu (sambil menunjuk sekretariat Walhi Kaltim),” kata Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim Pradharma Rupang, Kamis (6/8/2020).

Sekretariat Jatam dan Walhi Kaltim persis bertetangga. Keduanya merupakan rumah kontrakan yang sebenarnya identik berbagi tembok.  Sekeliling dua bangunan terpagari tembok besi setinggi 1,5 meter.

Namun keduanya bisa mudah berinteraksi.

“Hanya terpisah tembok kecil dan kami bisa saling melompati,” ungkap Rupang terbahak.

Penghuni sekretariat Walhi Kaltim sedang mengungsikan diri. Penggiat lingkungan ini memilih menepikan diri menyusul tuduhan diterima Yohana Tiko, Direktur Walhi Kaltim.

Tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid 19 Samarinda menyebutnya positif terpapar virus bersama dua aktivis lain; Fathul Huda Wiyashadi dan Bernard Marbun.

“Tiko, Fathul, dan Bernard berinisiatif melakukan isolasi mandiri menyusul tuduhan ini. Sudah tidak bisa menghubungi mereka sementara ini,” papar Rupang.

Sekretariat Pokja 30 dan Walhi Kaltim dituduh jadi persembunyian suspect corona. Pokja 30 merupakan wadah aktivis Samarinda sedangkan Walhi adalah lembaga swadaya masyarakat fokus isue lingkungan.

Kedua sekretariat lantas diobok obok aparat berdalih pencegahan penyebaran virus covid 19. Bukan hanya itu, tiga aktivis mengalami perisakan dengan tuduhan terinfeksi virus covid 19.

Massa pun diprovokasi mengangkut ketiganya agar dikarantina ke Rumah Sakit Abdul Moeis Samarinda.

Tim gugus tugas Samarinda menuduh tanpa dilampiri bukti fisik hasil uji tes swab.

“Tidak ada bukti tes tertulis dalam bentuk fisik, foto maupun surat elektronik,” ungkap Rupang yang berkantor pula di Pokja 30.

“Semestinya pihak terinfeksi yang paling berkepentingan menerima hasil tes swab ini,”  imbuhnya.

Soal ini, Dinas Kesehatan Kota (DKK) Samarinda mengklaim tidak berkewajiban menunjukan hasil uji tes swab. Mereka berdalih protokolnya jelas termuat dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020.

“Aturanya sudah ada di Perment Kesehatan, semuanya ada disitu. Tidak perlu dijelaskan lagi,” kata Kepala Bidang Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit DKK Samarinda dr Osa Rafshodia saat dihubungi.

Tim medis punya alasan, sedangkan Rupang pun memiliki pendapanya. Menurutnya klaim sepihak tim gugus tugas penuh kejanggalan. Apalagi selama tiga bulan terakhir, ia sudah menaruh kecurigaan pihak pihak memata matai aktivitas sekretariat Pokja 30 dan Walhi Kaltim.

“Orang orang ini berhenti dari jauh dan mengawasi, mondar mandir orang asing. Bisa jadi intelejen,” katanya.

Aksi intelejen mulai terbaca semenjak LBH Samarinda getol mengadvokasi tujuh aktivis dan mahasiswa Papua. Bantuan hokum pro bono ini berkantor di Pokja 30.

Para advokatnya mengawal proses persidangan aktivis dan mahasiswa Papua yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Balikpapan. Tujuh aktivis; Alexander Gobai, Hengki Hilapok, Steven Itlay, Agus Kosai, Ferry Kombo, Buchtar Tabuni, dan Irwanus Uropmabin terjerat pasal makar.

Ancaman tuntutan jaksa 20 tahun penjara.

Dalam kasus ini, Fathul Huda Wiyashadi dan Bernard Marbun ditunjuk mengadvokasi aktivis Papua. Hakim pengadilan menjatuhkan vonis kurungan 10 hingga 11 bulan penjara.

“Sangat mungkin dugaan saya ini adalah penyebab utamanya (menimpa sekretariat Pokja 30 dan Walhi Kaltim),” ungkap Rupang.

Pelaksanaan tes swab sekretariat Pokja 30 dan Walhi Kaltim hanya sebagai dalih mencari kesalahan aktivis.

“Kenapa tes swabnya hanya di sekretariat ini saja, kenapa tidak rumah lainnya ?” kata Rupang.

Warga setempat menyatakan tidak ada pemberitahuan tes swab di lingkungan RT 33.

“Warga anggap aman saja kampung ini, buktinya tes swap tidak disosialisasikan kepada warga sampai sekarang,” tutur Acil Salmiah yang memiliki warung kopi berdekatan sekretariat Walhi Kaltim.

Kronologis kejadian

Sekretariat Pokja 30 di Jalan Gitar Kelurahan Dadi Mulyo didatangi tiga petugas DKK Samarinda, Rabu (28/7/2020). Seorang diantaranya, perempuan muda bernama Silvi menawarkan para aktivis mengikuti uji acak polymerase chain reaction atau biasa disebut tes swab.

“Dia (Silvi) memang staf saya tergabung dalam Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid 19 Samarinda,” kata Kepala DKK Samarinda dr Ismed Kusasih.

Sebenarnya tugas Silvi cukup mulia untuk membendung penyebaran virus di Samarinda. Ia mengaku mendatangi satu persatu warga yang bersedia sukarela menjalani uji tes swab.

Sepanjang komunikasi, ia pun sempat berkeluh kesah tentang minimnya kesadaran warga Kelurahan Dadi Mulya yang sukarela menjalani tes swab.

“Kami bersedia (menjadi sukarelawan) dan tidak ada masalah ikut uji tes swab untuk membantu pemerintah,” ujar Rupang tanpa berpikir panjang.

Saat itu, ada tujuh orang di sekretariat Pokja 30 memberi restu tes swab.

Dua orang penggiat lingkungan Jatam, seorang aktivis Pokja 30 dan sisanya tamu serta  jurnalis.

Kehadiran tiga jurnalis secara kebetulan dalam kegiatan tugas peliputan berita.

Tanpa menunggu lama, Silvi serta dua rekannya langsung mengeluarkan alat pemeriksaan. Ketiganya hanya mengenakan masker, sarung tangan, dan pelindung wajah tanpa alat pelindung diri (APD) jubah hazmat.

Jubah hazmat lazim dipergunakan petugas medis kala menggelar tes swab.

Selama prosesnya, Silvi menolak gambarnya diabadikan seorang jurnalis. Seperti bercanda, ia berdalih takut akan hujatan warganet. Seorang petugas medis yang tidak dibekali peralatan APD memadai.

 “Dia takut hujatan para netizen yang maha benar, istilahnya seperti itu,” kata seorang saksi jurnalis

Selepas itu, para petugas DKK Samarinda ini bergegas menuju sekretariat Walhi Kaltim. Tipikal bangunan sekretariat Pokja 30 dan Walhi Kaltim memang identik – terpisah satu dinding.

“Kantornya (Walhi) itu ada orangnya, sekalian saja, setelah itu baru ke penginapan Lavender juga,” kata Silvi seperti ditirukan Rupang.

Esok hari di siang hari, Silvi ternyata datang kembali menemui aktivis. Bedanya kali ini, ia  ditemani sejumlah rombongan besar menunggang empat mobil dimana dua diantaranya berplat merah.

Dari mobil itu, turun sekitar delapan orang dimana diantaranya petugas Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Samarinda. Tiga petugas ini berseragam warna oranye plus memanggul alat semprot disinfektan.

Sisanya, lima orang lainnya berstelan sipil dengan masker dan sarung tangan karet. Mereka tanpa jubah hazmat.

Dihadapan para aktivis, Silvi langsung mengungkapkan tiga orang aktivis positif virus covid 19. Mereka ialah Yohana Tiko dari Walhi Kaltim dan Bernard Marbun serta Fathul Huda Wiyashadi dari LBH Samarinda.

Pernyataan ini mengagetkan mengingat begitu cepatnya petugas memastikan hasil uji tes swab. Padahal biasanya butuh waktu tiga hingga empat hari.

“Kenapa bisa secepat itu ? Biasanya butuh waktu untuk memperoleh hasil tes swab. Sedangkan saya juga tidak pernah kemana mana,” kata Fathul seorang diantara aktivis disebut positif covid 19.

Tanpa membuang waktu, petugas BPBD lantas menyemprot cairan disinfektan ke seluruh ruangan sekretariat Pokja 30 dan Walhi Kaltim. Disaat itu pula, tiga orang lainnya berpakaian sipil mendadak ikut pula menerobos masuk ruang sekretariat.

Orang orang ini memeriksa seluruh ruangan secara seksama. Sesekali, mereka pun mengeluarkan ponselnya menjepret dokumentasi foto terpajang di Pokja 30 dan Walhi Kaltim.

Tiga orang baju sipil ini berbadan tegap dan rambut klimis mencari orang.

Selama proses ini berlangsung, Fathul mulai curiga dengan tindak tanduk mereka. Saat itu pula, ia berinisiatif mempertanyakan hasil tes swab miliknya.

Termasuk pula pelbagai kejanggalan lainnya seperti ketiadaan surat tugas instansi maupun minimnya peralatan APD medis.

“Hasil tesnya tidak ada, mereka bilang nanti akan diberikan,” kata pengacara LBH Samarinda yang kini berinisiatif mengisolasi diri mandiri.

Sehubungan itu pula, para aktivis akhirnya menolak permintaan petugas agar mereka diisolasi ke Rumah Sakit Abdul Moeis.

“Kami malah takut tertular bila di karantina di rumah sakit ini,” ungkap Fathul.

Namun esok harinya bertepatan perayaan Idul Adha – sekretariat Walhi Kaltim menerima surat pemberitahuan dari RT setempat. Dalam isi surat tersebut disampaikan, warga RT 33 Kelurahan Dadi Mulya keberatan adanya aktivis di lingkungan mereka.

Apalagi tiga diantaranya positif covid 19.

“Saya memperoleh informasi kedatangan petugas ingin menjemput warga karena disebut positif corona,” kata Ketua RT 33 Tarmiji saat ditanya wartawan.

“Kita hanya meminta mereka ikuti saran dokter, kami tidak mengerti kalau ada muatan politik (dibalik semua itu),” imbuhnya.

Informasi diterima Ketua RT 33 ini terbukti sahih. Menjelang magrib berdatangan belasan petugas Kepolisian, Satpol PP, kelurahan, dan DKK Samarinda.

Mereka berniat menjemput tiga orang aktivis disebut positif covid 19.

“Kami tetap menolak mengingat mereka tidak bisa menunjukan hasil uji tes swab dan surat tugasnya,” tegas Fathul.

Namun pada akhirnya para aktivis sulit untuk menolak. Tanpa bisa diprediksi suasana kian memanas, puluhan massa berkumpul di luar sekretariat untuk memperkusi aktivis.

Terdengar teriakan memprovokasi massa.

Tiga orang aktivis akhirnya mengalah mengikuti petugas dibawa menuju Rumah Sakit Abdul Moeis. Rencananya, mereka akan dikarantina bersama pasien positif covid 19 lainnya.

Setibanya di rumah sakit, petugas malah menelantarkan aktivis di area parkiran Rumah Sakit Abdul Moeis. Satu persatu petugas ini meninggalkan aktivis yang sebenarnya masih kebingungan.

Ternyata setibanya di rumah sakit, aktivis kembali menyoal hasil uji tes swab.

“Kami tidak mau di karantina di rumah sakit sebelum ditunjukan hasil tes swab. Mereka kemudian pergi satu demi satu,” kata Yohana Tiko.

Direktur RS Abdul Moeis dr Syarifah Rahimah Aydrus membantah cuci tangan.

“Kami posisinya hanya menerima pasien yang disebut positif covid 19. Pihak gugus tugas Provinsi Kaltim yang bisa menjawab soal tes swab,” paparnya.

Para aktivis Samarinda akhirnya berinisiatif mengisolasi mandiri. Mereka memilih lokasi safe house yang yang terisolir dari aktivitas masyarakat.

Meskipun begitu, para aktivis pun tetap merasa dibuntuti selama proses isolasi.

“Mereka sudah tidak bisa dihubungi lagi sekaligus mengisolasi mandiri. Kami yang mensuplai kebutuhan logistik dan kesehatan,” ungkap Rupang.

Berita Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *