Kaltim Enclave 17 Ribu Hektare Taman Kutai

Taman Nasional KutaiBalikpapan –

Provinsi Kalimantan Timur melepaskan (enclave) 17 ribu hektare lahan di kawasan taman nasional Kutai di Kabupaten Kutai Timur. Lahan tersebut sudah beralih fungsi jadi pemukiman masyarakat setempat sejak belasan tahun silam.

“Sudah kami usulkan untuk pembebasan lahan,” kata Gubernur Kalimantan Timur, Awang Faroek Ishak, Senin (25/3).

Tim Terpadu Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kaltim, kata Awang  telah mengusulkan perubahan status sebagian wilayah Taman Nasional Kutai. Penentuan status peruntukan lahan jadi kewenangan DPR RI.

“Kita tunggu saja, karena akan dibahas Komisi IV untuk tata ruang Kaltim, didalamnya itu termasuk enclave yang dibahas, setelah tata ruang itu dibahas, tentu hasilnya akan ada termasuk enclave itu,” paparnya.

Enclave kata Awang, untuk memberikan kepastian hukum kepada masyarakat yang selama bertahun-tahun bermukim di Taman Nasional Kutai. Dimana diketahui ada dua Kecamatan di Kabupaten Kutai Timur yang masuk dalam otoritas Taman Nasional Kutai.

Selama ini masyarakat merasa berhak tinggal di dalam Taman Nasional Kutai, dari berkebun, hingga memiliki lahan tersebut. Mereka merasa orangtua atau leluhur mereka sudah tinggal di tempat itu sejak lama, bahkan sebelum adanya penetapan TNK.

“Memang disitu (Taman Nasional Kutai) ada desa Sengkimah, kecamatan Sangatta Selatan dan kecamatan Teluk Pandan. Masyarakat sudah lama tinggal disitu oleh karena itulah maka dengan enclave itu mereka menjadi resmi,” kata Awang.

Namun mantan Bupati Kutai Timur belum bisa memberikan kepastian waktu kapan enclave tersebut disetujui. Namun menurutnya, pihaknya akan bekerja keras untuk mendorong pembahasan di pusat dapat rampung secepatnya.

“Kita targetkan secepatnya, kalau perlu tahun ini selesai, harapan kita seperti itu, sehingga masyarakat punya kepastian,” bebernya.

Proses campur aduknya antara wilayah desa devinitif dengan kawasan Taman Nasional Kutai, diakui telah melahirkan pertentangan yang tak ada ujung pangkalnya. Kedua klaim tersebut sulit dibedakan mana yang benar, karena keduanya telah memiliki dasar hukum yang dapat dipertanggung jawabkan.

Balai Taman Nasional Kutai memiliki Surat Ketetapan yang dikeluarkan Pemerintah Pusat. Sedangkan masyarakat dan pemerintah desa juga memiliki Surat Keputusan Desa Devinitif yang dikeluarkan Gubernur Kaltim.

Karena itu, Awang menilai situasi yang diawali konflik kebijakan ini membutuhkan kompromi yang berkelanjutan. Bahkan sebenarnya sudah sejak tahun 2003 lalu. “Ya kita harapkan nanti ada win-win solution dari pembahasan di DPR,” tukasnya.

Guna mendukung kebijakan enclave tersebut, Pemerintah Kabupaten Kutai Timur juga diminta berkomitmen untuk menjaga batas wilayah dengan mengantisipasi perambahan hutan serta mencegah terjadinya perluasan permukiman.

Berita Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *