“Kalau memang tidak mau mengikuti aturan yang sudah ditetapkan, cabut saja izinnya, apalagi jika memang merusak lingkungan, karena memang aturannya sangat jelas,” tegas Awang
Ia juga mewajibkan Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kaltim mengaudit perusahaan tambang batubara di Kaltim. Hasil audit akan dilambangkan dengan bender berwarna emas atau kuning untuk yang terbaik, kemudian hijau, biru, merah, dan yang paling jelek mendapat bendera hitam.
“BLH wajib mengaudit setiap perusaan tambang. Hasil audit itu nanti dilambang bendera hitam itu harus dikibarkan di depan kantor perusahaan tambang tersebut di mana saja,” kata Awang.
Awang menyatakan, banyak perusahaan tambang batubara di Kaltim yang tidak melaksanakan kewajiban-kewajibannya, mulai dari yang teknis tambang seperti membuat saluran drainase yang baik agar air limbah tambang tidak mencemari atau masuk ke lahan di luar tambang, kewajiban reklamasi, revegetasi, hingga community social responsibility atau CSR.
Menurut Awang, Kota Samarinda menjadi daerah yang parah keadaan karena ibukota Kaltim itu dikepung tambang batubara. Gabungan dari daerah resapan air yang sudah diambil alih tambang dan drainase yang jelek, hujan sebentar saja sudah membuat Kota Tepian banjir.
Awang mengungkapkan, banyak kolam bekas tambang yang dibiarkan begitu saja sehingga mengancam kehidupan, khususnya anak-anak yang bermain dikubangan bekas tambang.
“Kan sudah lima anak yang tewas jadi korban. Karena itu saya minta wali kota dan bupati, yang di wilayahnya ada tambang untuk bertindak tegas mencegah korban jatuh kembali,” tegas Awang.
Di Kaltim saat ini telah ada 1.271 izin pertambangan dengan model kuasa pertambangan (KP) dan 33 izin perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B). Total luas konsesi tersebut mencapai 4,4 juta hektar.
Dari angka itu, Jatam lantas membandingkannya dengan luas Swiss, sebuah negara kaya di Eropa yang luasnya hanya 4,1 juta hektare dan Kalsel (yang juga punya banyak tambang batubara) yang luasnya hanya 3,7 juta hektar.
80 persen produksi batu bara Kaltim tersebut diekspor, yaitu ke India, China, termasuk juga Jepang dan Taiwan, serta Hongkong. China yang sesungguhnya sangat kaya batubara memilih tidak menambang depositnya dan memanfaatkan harga batubara yang ‘murah’ dari Indonesia.