Satu unit mobil double gardan bak terbuka parkir sendirian pelataran Kantor PT Tanito Harum, Rabu (26/6/2019) sore. Keberadaan mobil bermesin disel ini terkucil diantara hamparan kesenyapan perusahaan.
Area parkir perusahaan tambang batu bara ini, dulunya penuh pelbagai jenis mobil tambang. Kapasitasnya mampu menampung puluhan mobil sekaligus. Macamnya beragam jenis mobil multi fungsi, mini truk, double gardan hingga truk tambang.
Namun enam bulan terakhir ini semua berubah, perusahaan tambang di Loa Tebu Desa Tanjung Harapan Kutai Kartanegara Kalimantan Timur sepi aktifitas. Mereka merumahkan puluhan karyawannya sekaligus subkontraktor yang mayoritas warga lokal.
Semua gara gara habisnya izin konsesi kontrak karya eksploitasi batu bara seluas 35.757 hektare. Pemerintah menolak perpanjangan eksploitasi batu bara yang mulai sejak 1987 silam.
Kini denyut kehidupan sudah tiada lagi disini. Hanya benderang lampu neon menerangi perkakas kantor yang tertata rapi seperti dulu kala, ada meja, kursi, lemari dan komputer.
Bahkan, tumpukan dokumen dan alat tulis kantor pun tetap tersusun rapi.
Dulunya, bangunan megah dua lantai ini menghidupi ekonomi Loa Tebu. Suatu pedesaan pelosok berjarak tujuh jam dari Kota Tenggarong, ibu kota Kabupaten Kukar.
“Hari ini kantor seluruhnya sedang libur,” kata Aziz, seorang pekerja sekonyong datang sambil menatap curiga.
Aziz dan rekannya yang belakangan diketahui bernama Eman – praktis minim informasi. Bersama Eman, seorang pria gempal lagi bertato, keduanya sangat hati hati dalam bertutur kata.
Malahan, pria berlogat suku bugis ini balik mencecar pertanyaan.
“Dari mana dan mau kemana?” sergahnya menyelidik.
Wartawan tak kurang akal, berdalih menumpang teduh pelataran gedung kantor seluas dua hektare. Kebetulan pula, hujan memang seharian mengguyur perkampungan Loa Tebu.
Sejam berteduh jadi kesempatan emas merekam kondisi terkini perusahaan ini. Lingkungan kantor memang tanpa kegiatan. Selain Aziz dan Eman, tiada lagi pegawai yang masih tersisa disana.
Meskipun lengang – bangunan kantor cukup terawat, rapi dan terkunci.
Tepat seberang jalan berdiri mess khusus karyawan. Setali tiga uang pula, tidak ada kehidupan di bangunan mampu menampung delapan orang ini. Seluruh pintu kamarnya terkunci dari luar.
Hanya saja terlihat jelas, setiap jendela kamar tertempel stiker ukuran mini. Tiga instansi membubuhkan inisialnya, Kemenkeu, ESDM dan PT Tanito Harum.
Hanya berjarak 50 meter bersebelahan bangunan utama – tampak timbunan gunung persediaan batu bara perusahaan. Sebagian kawasan mulai ditumbuhi rumput.
Ratusan ton emas hitam ini sepertinya diangkut dari lokasi site tambang yang tertutup umum.
Penampungan batu bara perusahaan ini memang strategis. Lokasinya hanya berjarak 100 meter berseberangan dengan Sungai Mahakam. Disitu sudah siap dua kapal tongkang penuh muatan batu bara bersandar di tepian dermaga jeti perusahaan.
Soal terhentinya izin perusahaan, ternyata sudah masuk telinga warga. Obrolan seru warung kopi setempat seru membahas terhentinya aktifitas perusahaan sejak Januari silam. Ada kabar soal izin perusahaan yang jatuh tempo.
“Sudah lama berhenti operasi, izinnya sudah habis dari pemerintah,” kata warga Loa Tebu, Aco.
Padahal sebenarnya, Aco sempat tidak percaya perusahaan ini menghentikan aktifitas. Pasalnya beberapa bulan lalu, menurutnya, perusahaan ini melakukan investasi dengan membebaskan jalur hauling pihak lain.
Tujuannya tentu untuk dikeruk isi perutnya, batu bara.
“Mereka membebaskan jalur hauling perusahaan lain seharga Rp 2 miliar,” paparnya.
Tetangganya, Fungki yang juga sedang ngopi menambahkan, vakumnya perusahaan memukul ekonomi masyarakat setempat. Hampir seluruh warga Loa Tebu menggantungkan hidupnya di industri tambang.
Ia mencontohkan dirinya memperoleh keuntungan berlipat selama jadi mitra perusahaan. Kapalnya laris manis, disewa guna mengangkut batu bara.
Namun enam bulan terakhir, semuanya sudah berubah 180 derajat.
“Sudah tidak ada pendapatan masuk dari perusahaan,” keluhnya sembari menyeruput kopi panas.
Kini sudah tidak ada warga yang bekerja di tambang. Peluang kerja tersisa menjadi kuli di penimbungan batu bara.
Itu pun harus bersaing dengan ratusan warga lain.
Pada 12 Juni lalu, Menteri Energi Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan menerbitkan keputusan menteri pembatalan perpanjangan izin tambang Tanito. Semula, Tanito mengantongi keputusan perpanjangan kelanjutan operasi produksi pengusahaan pertambangan batu bara.
Keputusan perpanjangan terbit 11 Januari 2019, empat hari sebelum kontrak Tanito berakhir. Pembatalan inilah yang berujung mandegnya pertambangan perusahaan.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia Hendra Sinadia mengatakan, pencabutan izin usahanya membuat Tanito sulit meneruskan bisnis tambangnya.
“Mereka dapat perpanjangan, tapi dilarang melakukan ekspor.
Saat penambangan berhenti, perusahaan masih menanggung kewajiban reklamasi di setiap lubang galian.
“Nilainya kewajibannya tidak kecil.”
Tanito Harum mengantongi izin pengusahaan batu bara pada 30 Januari 1987 dan mulai operasi dua tahun sesudahnya. Saat itu, mereka mengantongi izin konsesi seluas 123.848 hektare hingga sekarang tersisa 34.583 hektare.
Lokasi tambangnya tersebar di sejumlah kecamatan Kutai Kartanegara.
Berdasarkan data Pusat Sumber Daya Mineral dan Panas Bumi Badan Geologi Kementerian pada 2000, penambangan Tanito mempergunakan sistim terbuka.
Kala itu, produksinya sekitar 1,1 juta ton, hampir sama produksinya pada 2018 sebesar 1 juta ton.
Selama ini, Tanito menyasar pasar batu bara luar negeri. Sebanyak 85 persen produksinya diekspor ke Malaysia, Filipina dan Taiwan. Sisanya dijual ke pabrik semen di Jawa, Sulawesi dan Kalimantan.
Kementerian Energi mencatat total cadangan batu bara Tanito sebesar 55,5 juta ton mineable selama 30 tahun seturut Daftar Pinjam Pakai Perusahaan Pertambangan Umum dengan Departemen Kehutanan tertanggal 1 Sepember 1992.
Operasi Tanito Harum dibawah kendali Grup Tanito, yang didirikan Kiki Barki Makmur pada 1988. Grup Tanito memegang lisensi konsesi pertambangan melalui perjanjian kerja untuk perusahaan batu bara generasi pertama.
Ditengah lesunya bisnis tambang, Grup Tanito menemukan jalan baru. Kiki membentuk tambang anyar, PT Harum Energy pada 1995. Saham perusahaan ini melantai di Bursa Efek Indonesia pada 2010 berkode HRUM.
Harum Energy dimiliki mayoritas PT Karunia Bara Perkasa, 74,05 persen. Sisa saham kolektif dipegang publik 25,85 persen, PT Bara Sejahtera Abadi 0,09 persen serta anggota dewan komisaris dan direksi, Ray Antonio Gunara 0,01 persen.
Bara Sejahtera Abadi dan Karunia Bara Perkasa adalah perusahaan milik keluarga Barki. Laporan keuangan Harum Energy, Lawrence Barki dan Steven Scott Barki adalah pemegang saham Karunia Bara Perkasa dan Bara Sejahtera Abadi. Keduanya anak kandung Kiki Barki.
Lawrence pernah memimpin divisi logistik dan pemasaran Grup Tanito milik ayahnya. Kini mereka berdua duduk di Dewan Komisaris Harum Energy.
Harum Energy tidak kerja sendirian mengeruk manis emas hitam. Perusahaan punya lima anak usaha penambang batu bara; PT Mahakam Sumber Jaya, PT Tambang Batu Bara Harum, PT Karya Usaha Pertiwi, PT Bumi Karunia Pertiwi, dan PT Santan Batu Bara.
Selain itu, Harum pun membesarkan perusahaan investasi Harum Energy Australia Ltd dan Harum Energy Capital Ltd yang terdaftar di British Virgin Islands dan perusahaan pelayaran PT Layar Lintas Jaya.
Dalam operasinya, Harum juga berelasi dengan beberapa perusahaan dengan pendapatan 4,3 persen. Pendapatan dari Tanito Harum saja mencapai US$ 1,26 juta. Harum melalui Mahakam Sumber Jaya membeli batu bara Tanito seharga US$ 47,1 juta dan US$ 54,8 juta pada 2017 dan 2018.
Mahakam Sumber Jaya juga meminta Tanito menyediakan 1 juta ton batu bara per tahun.
Di Kalimantan Timur, kapasitas produksi Harum Energy dan Tanito paling buncit. Produksi Tanito hanya kisaran 1,1 juta ton. Adapun Harum Energy lebih baik produksinya sebesar 4,6 juta ton.
Meski begitu, bisnis batu bara ini mengangkat nama Kiki Barki menjadi milyader dunia tahun 2012 versi Majalah Forbes. Kekayaannya ditafsir US$ 1,7 miliar atau Rp 16 triliun. Hartanya ini membuatnya masuk daftar 50 orang terkaya di Indonesia.
Lesunya bisnis batu bara turut menggerus pundi pundi kekayaannya menjadi US$ 650 juta atau Rp 8,5 triliun.