Mungkin bagi sebagian masyarakat ada yang belum tahu, kalau ternyata monyet terkecil didunia justru hidup di hutan di Indonesia. Namanya Tarsius spectrum, tingginya hanya sebesar kepalan tangan manusia.
Monyet yang juga sering disebut tikus jongkok itu hanya hidup di Taman Nasional Tangkoko Kota Bitung, Sulawesi Utara (Sulut). Hewan tersebut, kini menjadi satwa yang dilindungi, karena keberadaannya pun sangat langka, hanya ada di Kota Bitung.
“Hewan ini sangat berbeda, dia sangat unik sekali, didunia cuma ada di Bitung, dia seperti boneka, tatapannya sangat tajam dan tak berkedip, dia secara tiba-tiba bisa berputar 180 derajat,” kata Viktor Tatanode anggota DPRD Kota Bitung di Balikpapan.
Menariknya, dari hasil penelitian, ternyata satwa itu merupakan makhluk paling romantis dan setia didunia terhadap pasangannya. Mengapa demikian, karena dia hanya kawin satu kali seumur hidup. Ketika pasangannya mati duluan, dia tidak pernah akan tertarik dengan yang lain, hingga mati.
“Dia tidak seperti makhluk yang lain, dia hanya kawin satu kali lalu mati, betina dan jantan itu kalau pergi kemana-mana selalu bersama, mereka seakan tak ingin dipisahkan, jadi sangat setia terhadap pasangannya. Kalau pasangannya mati, dia tetap hidup sendiri. Mereka paling banyak punya dua anak,” imbuhnya.
Hewan itu pun dianggap sangat ramah, karena tidak menyerang manusia. Begitu pun dia bisa sangat dekat dengan manusia. “Tempat tinggalnya hanya di pohon, dia membuat lubang di pohon, disitu dia tinggal dan melahirkan. Dia tidak berpindah-pindah tempat,” ucapnya.
Penglihatannya cukup tajam khususnya pada malam hari. Karenanya satwa ini disebut binatang malam, karena hanya berakktifitas pada malam hari. Matanya yang besar tidak pernah menutup, akan membesar ketika malam tiba, membuatnya mampu melihat dengan jelas dalam kegelapan untuk mencari makanan.
“Dia keluar malam untuk cari makan. Makanannya tidak sembarangannya, hanya jangkrik, belalang dan anak burung. Biasanya pagi sekitar pukul 05.30 dia pulang. Dia kalau keluar itu air kencingnya justru jadi penunjuk jalan, agar tidak tersesat saat pulang. Kemana dia jalan dengan air kencing sebagai penunjuk jalan,” tuturnya.
Hanya saja kini populasinya terus berkurang setiap tahunnya. Bahkan hasil penelitian terakhir menyebutkan, populasinya kini hanya tersisa sekitar 3.500 ekor yang hidup di hutan lindung Tangkoko Kota Bitung.
“Dulu sebelumnya ada 5.000 ekor sekarang terus berkurang, karena peradaban, mereka semakin tergusur, karena ada yang juga diburu dan dipelihara, padahal hewan itu sebenarnya dilindungi, sehingga manusia yang memelihara bisa kena pinalti,” ucapnya.
Bentuk dan prilakunya yang unik membuat DPRD dan Pemerintah Kota (Pemkot) Bitung akan menjadikannya sebagai maskot. Bahkan DPRD Bitung dalam setiap kunjungan kerjanya, menjadikannya sebagai cinderamata.
“Kita berencana memang akan menjadikan mascot kota bersama ikan cakalang, sudah diusulkan, hanya tinggal digodok saja dan di perda-kan, sehingga bisa menjadi maskot kota,” pungkasnya.