Mahkamah Agung menyatakan Hakim Parlas Nababan belum mengantongi sertifikasi lingkungan hidup dalam memutuskan suatu perkara. Hal ini bisa jadi alasan kenapa Parlas Nababan, Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Palembang menolak gugatan pemerintah pada PT Bumi Mekar Hijau atas tuduhan pembakaran hutan seluas 20 ribu hektare.
“Parlas Nababan belum mengantongi sertifikasi lingkungan hidup,” kata Ketua Pokja Lingkungan Hidup Nasional Mahkamah Agung, Takdir Rohmadi dalam Lokakarya Kebakaran Lahan dan Hutan Kementerian Lingkungan Hidup di Balikpapan, Senin (18/1).
Sertifikasi hakim lingkungan hidup, kata Takdir dimiliki setiap hakim sesuai surat keputusan Mahkamah Agung. Menurutnya sertifikasi ini penting dimiliki agar masing masing hakim memiliki wawasan lingkungan dalam pengambilan putusannya.
“MA yang memberikan sertifikasi hakim lingkungan dalam Pusat Pendidikan Kilat setiap tahunnya,” ujarnya.
Takdir mengatakan idealnya masing masing pengadilan negeri dan pengadilan tinggi setidaknya memiliki satu orang hakim yang bersertifikasi lingkungan hidup. Hakim ini nantinya yang menjadi Ketua Majelis Hakim seluruh kasus kasus persidangan yang berkaitan dengan permasalahan lingkungan hidup.
Namun demikian, Takdir mengakui masih sedikit hakim hakim di Indonesia yang mengantongi sertifikasi lingkungan hidup diterbitkan MA. Saat ini baru tercatat sebanyak 329 hakim dari total 8.000 hakim di Indonesia yang sudah mengantongi sertifikasi lingkungan hidup.
“Kemampuan kami juga terbatas dalam memberikan sertifikasi hakim lingkungan,” paparnya.
Sehubungan itu, Takdir memaklumi penunjukan Parlas Nababan sebagai Ketua Majelis Hakim persidangan gugatan perdata PT Bumi Mekar Hijau sebesar RP 5,2 triliun.Parlas Nababan merupakan salah seorang hakim senior di dengan jabatan Wakil Ketua PN Palembang.
“Dia ini adalah seorang hakim senior dan kebetulan di PN Palembang belum ada hakim yang mengantongi sertifikasi lingkungan hidup,” ujarnya.
Praktisi hukum Universitas Indonesia, Andri Wibisana menyatakan hanya perlu keberanian hakim dalam memutuskan setiap perkara lingkungan terjadi di Indonesia. Aturan hukum perkara lingkungan, menurutnya secara gamblang sudah tertuang dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Lingkungan Hidup.
“Intinya hanya perlu keberanian dari hakim bersangkutan, namun memang penafsiran hakim juga tidak konsisten,” tegasnya.
Andri mengatakan bencana kebakaran hutan sudah sering terjadi sejak tahun 2007 hingga sekarang ini. Namun demikian tidak ada satupun perusahaan yang terjerat sanksi perdata maupun pidana. Adanya gugatan perdata kerusakan lingkungan sebesar Rp 5,2 triliun diharapkan mampu memberikan efek jera bagi pelaku perusahaan maupun perseorangan.
Sehubungan kasus pembakaran hutan di Palembang, Andri menilai perusahaan bersangkutan tidak bisa berdalih factor alam jadi penyebabnya. Menurutnya kebakaran hutan sudah sering terjadi perusahaan semestinya perusahaan bisa melakukan langkah antisipasi.
“Perusahaan tidak bisa berdalih kebakaran disebabkan El Nino yang tinggi di Indonesia. Pertanyannya, apakah El Nino terjadi pada tahun itu saja ? Padahal El Nino sudah sering terjadi. Kalaupun factor alam artinya sama sekali tidak ada factor manusia didalamnya,” tuturnya.