NewsBalikpapan –
Langkah kaki Trinity Hutahean (7) tertatih bahkan terkadang tersungkur. Namun, ia terus bangkit memasuki pelataran Gereja Oikumene Samarinda Kalimantan Timur (Kaltim).
“Pergi ke gereja termasuk peristiwa menyenangkan buatnya,” kata ibunya, Sarina Gultom saat dihubungi, Sabtu (17/10/2020).
Kondisi fisik Trinity berbeda dibandingkan bocah sepantaran. Keduanya kaki tidak tumbuh normal, tangan mengeras seperti kayu dan kulitnya bekas luka bakar.
Siswi sekolah dasar Samarinda Seberang ini menjadi korban bom molotov Gereja Oikumene pada bulan November 2016 silam. Ia menderita luka bakar bersama korban Alvaro Aurelius Tristan Sinaga (8) dan Anita Kristobel (6).
Aksi keji pelaku teror Juhanda, alias Jo bin Muhammad Aceng Kurnia pun memakan korban jiwa Intan Olivia Banjarnahor (2,5).
Trinity mengalami luka bakar lebih setengah dari tubuhnya. Lukanya menyebar setiap jengkal badan, tangan, kaki, hingga sebagian muka.
Sesaat kejadian, bocah malang ini langsung ditangani intensif rumah sakit AW Sjahranie Samarinda. Pihak medis berusaha maksimal menangani penyebaran infeksi dampak luka bakar.
“Selama tiga bulan terbaring di ruang ICU rumah sakit,” papar Sarina.
Namun selama berbulan – bulan itu, kondisi Trinity tidak kunjung membaik. Keduanya matanya bengkak dan luka bakar kaki kanannya mulai mengalami pembusukan.
“Saya harus membawa anak saya memperoleh pengobatan medis lebih baik,” tegas Sarina.
Sehubungan itu, Sarina pun berinisiatif menerbangkan Trinity ke China agar memperoleh pengobatan lebih baik. Disini, pihak medis negeri tirai bambu mengupayakan operasi cangkok kulit.
“Dokter memasang balon di punggung Trinity untuk menumbuhkan jaringan kulit. Jaringan kulit ini lantas dicangkok diatas permukaan luka bakar,” tuturnya.
Sarina dibuat terkesima akan kecanggihan teknologi medis Tiongkok. Mereka membantu jemari tangan kiri Trinity dulunya kaku jadi lebih lentur.
Termasuk pula membaiknya tampilan jaringan kulit.
Selama empat tahun, keduanya pulang pergi berobat ke China. Sudah tidak terkira biaya dihabiskan selama pengobatan.
“Saya menghabiskan biaya Rp 2 miliar untuk berobat ke China. Pengobatan masih butuh biaya besar hingga dia tumbuh dewasa,” imbuhnya.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) enggan menanggung biaya pengobatan Trinity.
“Alasannya terbentur minimnya anggaran mereka,” ungkap Sarina.
Sementara itu, Alvaro Aurelius Tristan Sinaga nasibnya setali tiga uang dialami Trinity. Orang tua korban, berjuang nyaris sendirian menyelamatkan masa depan putranya.
“Dana diupayakan keluarga, para relawan dan bantuan negara,” kata ibu korban Martina Piur Novita Tagala (43.
Alvaro mengalami luka bakar 30 persen di area kepala, tangan, dan paha kanan.
Proses penyembuhan berjalan lambat selama berobat di rumah sakit AW Sjahranie. Bahkan, luka bakar di jari kanannya sempat membusuk serta timbul nanah.
Tidak menunggu lama, Alvaro dibawa berobat ke Kuala Lumpur Malaysia.
“Proses pembersihan bekas luka tidak maksimal di sekitar jari tangan sehingga darah kotor menempel di tulang. Untung sempat tertangani sehingga tidak amputasi,” ujar Novita.
Selama enam bulan bulan tahun 2017, medis Kuala Lumpur mengupayakan percepatan pertumbuhan kulit area kepala. Luka bakar Alvaro memang sebagian besar ada di area kepala.
“Dokter memasang balon di dalam kulit kepala mempercepat pertumbuhan kulitnya,” tutur Novita yang menghabiskan total biaya pengobatan Rp 1 miliar.
Meskipun begitu, baik Novita dan Sarina tidak terlalu mempermasalahkan besaran biaya.
Keduanya justru risau perkembangan mental Alvaro dan Trinity kala dewasa nanti.
“Alvaro tumbuh menjadi anak yang rendah diri. Perundungan dialaminya saat di sekolah,” ungkap Novita.
Sebagai seorang ibu, Novita mengaku turut terluka mendapati penderitaan anaknya. Di sisi lain, ia harus membesarkan hati anaknya akan kekurangan fisiknya.
“Sebagai ibu, tidak terkira sedihnya. Tapi saya harus kuat agar Alvaro juga bisa kuat,” tegasnya.
Sehubungan itu, Novita pun rajin membawa Alvaro konsultasi ke dokter psikolog. Beberapa kali, bocah ini masih mengeluhkan trauma pasca serangan bom.
“Dia takut kalau melihat api dan suara keras. Perlahan ketakutannya bisa dihilangkan,” ujarnya.
Demikian juga Sarina yang tidak lelah memotifasi Trinity. Sebagai orang tua, ia meminta Trinity menutupi kekurangan dengan kelebihan lainnya.
“Saya minta Trinity menutupi kekurangan fisik dengan kemampuan akademis,” ujarnya.
Trinity menjadi pusat perhatian keluarga Sarina. Seluruh perhatian dicurahkan sepenuhnya demi kemajuannya.
“Kalau perasaan saya sendiri sudah tidak penting, sekarang waktunya memberikan 100 persen untuk Trinity,” tegasnya.
Sementara itu, LPSK juga dalam posisi pelik. Sumber daya keuangannya tidak mampu mengakomodasi kepentingan korban pidana jumlahnya mencapai 490 orang.