NewsBalikpapan –
Eksplorasi sektor energi terbarukan Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara negara lain. Porsi pemanfaatan energi terbarukan komulatif seluruh sektor dalam negeri diperkirakan masih berkisar 8 persen.
“Pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia cenderung jalan ditempat atau bisa dibilang stagnan. Kita bahkan tertinggal dibandingkan Thailand yang sudah lebih unggul dibandingkan kita,” kata Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia, Surya Darma di Seminar bertema Membangun Kemitraan Untuk Mencapai SDG’S di Balikpapan, Rabu (13/3/2019).
Surya mengatakan, pemerintah terlena rutinas konsumsi energi fosil sehingga melupakan potensi sumber energi terbarukan. Padahal produksi energi fosil dalam negeri terus menurun dibandingkan konsumnya yang meningkat.
“Eksploitasi energi fosil Indonesia terus merosot menjadi 780 ribu barrel dengan konsumsi 1,6 juta barrel. Produksi minyak terus menurun sedangkan konsumsi tetap dan meningkat seiring pertumbuhan penduduk,” ujarnya.
Dalam beberapa kasus, Surya menilai perlakuan pemerintah pun kurang adil dalam mensuport energi fosil dan energi terbarukan. Ia mencontohkan pemberian subsidi konsumsi energi fosil masyarakat dimana hal serupa tidak dinikmati energi terbarukan.
“Kita harus fair dulu, penggunaan BBM memperoleh subsidi triliunan rupiah per tahun sedangkan energi terbarukan dapat apa ? Itu fakta di lapangan,” paparnya.
Fakta ini tentunya sangat berat mendukung pengembangan energi terbarukan. Padahal, pemerintah sudah mematok target muluk pemanfaatan energi terbarukan akan digenjot hingga 23 persen saat 2025 nanti.
“Agar bisa mencapai target 23 persen tentunya butuh terobosan penting. Ada perbedaan jauh antara kondisi sekarang dengan tujuh tahun kedepan. Konsentrasi pemerintah juga masih tertuju pada persoalan lain,” keluh Surya.
Padahal sumber daya alam Indonesia kaya potensi energi terbarukan meliputi panas bumi, air, angin, bio energi, bio fuel, matahari dan laut. Eksploitasi maksimal tentunya mampu menjadi alternatif menggantikan energi fosil.
Surya menyatakan, pemerintah harus menjadi motor dengan menerbitkan regulasi pendukung pertumbuhan energi terbarukan. Setelah itu barulah memungkinan terciptanya iklim positif dimana memungkinkan investasi swasta, transfer teknologi dan ketersediaan sumber daya manusia (SDM) universitas.
“Motor utamanya ada ditangan pemerintah yang selanjutnya disusul sektor sektor lain terkait. Intinya antara kebijakan serta implementasi di lapangan harus berjalan seiring dan tidak terpisah,” tegasnya.