Aparat kepolisian bersiaga menyusul gelombang terduga aksi teror di tanah air tiga hari terakhir. Personil polisi daerah lain otomatis turut bersiaga agar tidak kecolongan dalam mengantisipasi ancaman teror.
“Kami tingkatkan kewaspadaan di sejumlah tempat ibadah,” kata Kepala Polda Kalimantan Timur, Inspektur Jenderal Priyo Widyanto, Senin (14/5).
Polisi pantas waspada mengingat sejumlah mantan napi teror bermukim dan berdomisili di sejumlah kota/kabupaten Kaltim. Mereka ini adalah beberapa terpidana kasus teror yang diantaranya menghebohkan seperti peristiwa bom Bali hingga terjadi di Jakarta.
“Ada beberapa eks napi teror yang kami pantau,” paparnya.
Priyo mengemban kewajiban menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat Kaltim menyusul aksi teror Rumah Tahanan Brigadir Mobil Jawa Barat hingga pengeboman gereja dan Polresta Surabaya Jawa Timur. Salah satu upaya bisa dilakukan lewat pemantauan eks napi yang diantaranya menetap di Kaltim.
“Memang soal teror menjadi urusan Densus (Anti Teror 88). Kami disini memantau eks napi yang berada di Kaltim,” ungkapnya.
Sementara ini, Priyo menilai para mantan napi teror ini seluruhnya sudah mampu berbaur kembali ke masyarakat. Polisi bahkan meminta mereka mengeluarkan pernyataan yang isinya berupa penolakan segala bentuk teror terjadi di Indonesia.
“Mereka sudah bisa berbaur dengan masyarakat, kami bahkan meminta untuk menolak segala bentuk aksi teror terjadi saat ini,” paparnya.
Catatan wartawan – aksi teror sempat mewarnai pemberitaan media massa di Kaltim selama 2016 lalu. Peristiwa terheboh adalah pelemparan bom molotov di Gereja Oikumene Samarinda yang memakan satu korban jiwa serta tiga lainnya mengalami luka bakar.
Aksi teror bulan November ini menimpa korban yang seluruhnya anak balita.
Bulan Januari di tahun sama – Densus Anti Teror membekuk terduga teror yang disebut terkait pengeboman di Sarinah Jakarta. Terduga bernama Fajrun diduga merupakan pelarian teror asal Ambon yang bersembunyi di Balikpapan.
Bahkan jauh sebelumnya, Kaltim menjadi saksi penangkapan pelaku pengeboman Bali, Ali Imron di Pulau Brukang Samarinda, Januari 2003. Adik kandung Amrozi ini diduga hendak kabur ke Malaysia pasca pengeboman yang memakan 180 korban jiwa ini.
Salah seorang keluarga terduga teror di Balikpapan, Jamal sudah pasrah nasib menantunya yang kini mendekam di sel Rutan Tegal Jawa Tengah atas kasus terorisme. Ia berusaha iklas menerima putusan menantunya yang disebut punya keterkaitan dengan pengeboman Sarinah Jakarta.
“Saya tidak tahu apa apa, sepengetahuan saya kalau di rumah juga tidak macam macam,” paparnya.
Lantaran itu pula, Jamal pasrah turunnya putusan pengadilan yang menjatuhkan kurungan penjara terhadap Fajrun di Rutan Tegal. Ia enggan mencari seberapa lama menantunya ini harus menjalani masa tahanan atas tuduhan kasus terorisme.
“Saya serahkan saja pada mereka (pengadilan) yang memutuskan, saya tidak akan cari tahu seperti apa masalahnya. Saya tinggal menjalani saja,” ujarnya seraya menambahkan sempat sekali membesuk menantunya di sel tahanan Rutan Tegal.
“Kondisinya sehat saja disana, sikapnya juga baik saja,” imbuhnya.
Bila takdir menentukan, warga Balikpapan ini yakin pada saatnya nanti putrinya akan dipertemukan kembali dengan menantunya. Beban pikirannya saat ini hanyalah cucunya yang baru pertama kalinya menemui ayahnya di sel Rutan Tegal.
“Idealnya keluarga harus ada ayah dan ibu. Bila tidak ada ayahnya, kasihan cucu saya ini. Sementara ini, saya yang menjadi ayahnya di rumah,” tuturnya.
Aksi pencegahan radikalisme menjadi pusat perhatian alim ulama di Balikpapan. Pengurus Masjid At Taqwa Balikpapan, MS Siregar menyebutkan faham radikalisme tumbuh berkembang akibat pengajaran yang salah soal pemahaman agama di masjid dan pendidikan sekolah.
“Ada ceramah seorang ustadz di Balikpapan yang jelas jelas menyebutkan pemerintah togut. Ada pula seorang anak SMP yang menolak menghormati bendera saat upacara,” sebutnya.
Siregar menilai hal hal seperti ini menjadi bibit pertumbuhan radikalisme di kalangan generasi muda di Balikpapan. Masyarakat memperoleh pemahaman yang salah soal agama serta pemimpin di Indonesia.
“Bila tidak sealiran dengan dia dianggap kafir, bid’ah, togut dan sebagainya. Ini tanda tanda radikalisme,” sesalnya.
Pengurus masjid terbesar di Balikpapan berulang kali mengajak dialog guna meluruskan pemahaman radikal sejumlah pemuka agama ini. Meskipun harus diakui Siregar bukan perkara mudah menumbuhkan kesadaran mereka yang sudah terkena proses cuci otak.
Mereka tidak segan menolak hingga balik menantang pemahaman berbeda dari faham sudah diyakininya.
“Karena kami bukan lembaga penindak, kewenangan cuma sebatas dialog saja,” tuturnya.
Sementara ini, Siregar hanya bisa berharap aparat kepolisian mampu memberantas radikalisme hingga ke akar akarnya. Dalam beberapa kasus penindakan tegas aparat memang dibutuhkan untuk memberikan efek jera penyebaran radikalisme di Indonesia.
“Penindakan aparat polisi harus dilakukan, kalau perlu melibatkan unsur TNI agar sinerji bisa terjadi di lapangan,” tegasnya.