Aksi Demo Lingkungan di Pemprov Kaltim

NewsBalikpapan –

Puluhan penggiat lingkungan menggelar aksi keprihatinan di depan Kantor Pemprov Kalimantan Timur di Samarinda. Aksi damai bertepatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) sekaligus mengenang para korban tenggelam di lubang bekas galian tambang batu bara di Bumi Etam.

 “Aksi damai yang diikuti puluhan aktivis lingkungan di Kaltim,” kata Dinamisator LSM Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, Pradharma Rupang, Selasa (11/12/2018).

Rupang mengatakan, korban tenggelam di lubang tambang Kaltim terus berjatuhan tujuh tahun terakhir. Jatam Kaltim mencatatkan total korban mencapai 32 jiwa dimana 27 jiwa diantaranya adalah anak anak.

 “Mayoritas yang meninggal adalah anak anak di dalam lubang tambang,” sesalnya.

Aturan Undang Undang Mineral dan Batu bara, sambung Rupang, mengamanatkan Pemprov Kaltim mengelola 1.488 izin usaha pertambangan (IUP) batu bara. Luasan izin konsesi pertambangan seluas 12,7 juta hektare atau 43 persen wilayah Kaltim.

Permasalahan saat ini, Rupang mengatakan, Pemprov Kaltim enggan melaksanakan rekomendasi beberapa lembaga. Seperti halnya rekomendasi Komnas HAM yang meminta daerah memaksa perusahaan melaksanakan kewajiban reklamasi pasca tambang di Kaltim.

Semua itu tergambar lambatnya respon Gubernur Kaltim, Isran Noor menangani berbagai permasalahan pertambangan. Terbaru, bekas Bupati Kutai Timur ini malahan beranggapan amblasnya jalan di Kelurahan Jawa, Kutai Kartanegara bukan disebabkan masalah pertambangan.

Sebaliknya, Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Kaltim menyatakan penyebabnya akibat eksploitasi pit 1 west milik PT Adimitra Baratama Nusantara.

“Terlalu buru buru, tidak cek di lapangan sudah langsung memberikan komentar pembelaan,” sesal Rupang.

Bahkan  Isran Noor terekam tidak antusias menanggapi jatuhnya korban tewas ke 32, Nurul Huda Aulia (10). Peristiwa naas terjadi pertengahan bulan November lalu, dia berujar pendek.

“Ya, sudah nasibnya,” tutur Rupang mengulang komentar Isran.

Minimnya empati gubernur barusan dilantik ini membuat Rupang kehilangan kata kata. Menurutnya, Gubernur Kaltim semestinya menjadi yang terdepan dalam upaya penyelamatan lingkungannya.

Rupang menilai, warga Kaltim dihadapkan permasalahan lingkungan akibat eksploitasi tidak terkontrol industri pertambangan. Selama kurun 10 tahun terakhir, dia menyebutkan ada 632 lubang bekas galian dan 32 jiwa melayang karenanya.

“Bencana banjir, tanah longsor sudah makin sering terjadi di Samarinda, Kutai Kartanegara, Kutai Timur dan Kutai Barat. Masyarakat yang harus membayar dampak negatif pertambangan ini,” ungkapnya.

Pemerintah daerah semestinya menutup 208 IUP yang beririsan langsung pemukiman masyarakat. Batas minimal interaksi antara pertambangan dan pemukiman adalah 1 kilometer.

“Tambang yang beririsan dengan masyarakat harus ditutup. Jangan hanya sekedar retorika saat ada masalah baru bergerak,” papar Rupang.

Rupang mencontohkan penutupan lokasi pit 1 west PT Adimitra Baratama Nusantara dimana lokasinya berjarak 100 meter pemukiman warga. Itu pun dilakukan setelah menyebabkan amblasnya jalan serta menghancurkan 6 rumah warga.

“Kalau tidak ada kejadian tanah amblas, mungkin tidak dilakukan penutupan lokasi pit 1 west ini,” ujarnya.

Aktivis Pokja 30 Samarinda, Carolus Tuah sektor pertambangan tidak memberikan dampak signifikan terhadap kas Kaltim. Anggaran daerah sebesar Rp 10 triliun, menurutnya terutama disumbangkan pajak kendaraan bermotor.

“Sektor pertambangan tidak terlalu menyumbang besar bagi kas Kaltim,” ujarnya.

Bahkan dampak negatif pertambangan, lanjut Carolus sangat besar mengancam berbagai sektor di Kaltim. Nilai kerugiannya tidak sebanding dengan pendapatan kas daerah.

“Hanya komitmen gubernur yang mampu menghentikan kerusakan pertambangan saat ini. Presiden terkesan abai serta menyerahkan keputusan pada daerah,” tuturnya.

Fenomena saat ini, sektor pertanian Kaltim menjadi komoditas yang terpukul masifnya pertambangan. Terjadi pergeseran lahan persawahan yang lokasinya berdekatan dengan pertambangan.

“Lahan persawahan di Kaltim bergeser akibat tambang. Contohnya di Lempake Samarinda dan  Sebulu Kutai Kartanegara,” kata Dewan Ketahanan Pangan Kaltim, Bernatal Saragih.

Bernatal mengatakan, pertanian dan pertambangan adalah dua komoditas yang sulit untuk diserjikan. Limbah buangan pertambangan berpengaruh langsung terhadap keberlangsungan tanaman padi.

“Kawasan bekas tambang juga sudah tidak bisa lagi dikelola menjadi sawah,” ungkapnya.

Area persawahan Kaltim tersisa seluas 59 ribu hektare biasanya berproduksi  253.700 ton beras per tahun. Selama ini, produksi beras defisit 172.300 ton atau 40,4 persen total konsumsi Kaltim sebesar 426 ribu.

“Tahun ini bahkan diperkirakan produksi beras di Kaltim turun menjadi 139.690 ton. Artinya, defisit kebutuhan beras meningkat menjadi 286.310 ton atau 67,2 persen,” ungkapnya.

Penurunan produksi beras pun disebabkan rendahnya minat petani mengembangkan pertanian. Beberapa petani tradisional beralih pengembangan komoditas perkebunan seperti kelapa sawit dan karet.

“Menanam padi butuh modal dan usaha lebih besar di Kaltim. Kualitas lahan di Kaltim tidak bisa dibandingkan di Jawa dan Sulawesi,” sebutnya.

Meskipun begitu, Bernatal menyatakan pemerintah daerah tetap berpeluang mengupayakan produksi beras. Kaltim masih menyisakan 250 ribu hektare lahan yang bisa disulap menjadi persawahan.

Berita Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *