Sejak 2006 hingga 2012, ada 182 kasus kelalaian medic atau bahasa awam nya malpraktek yang terbukti dilakukan dokter. Malpraktek tersebut, terbukti dilakukan dokter setelah melalui sidang yang dilakukan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI).
“Akibat dari mal praktek yang terjadi itu, ada 29 dokter yang ijin prakteknya dicabut sementara, ada yang tiga bulan, ada yang enam bulan,” kata Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Bedah Indonesia Prof. Paul L Tahalele, Senin (25/3).
Menurut Paul, dicabutnya ijin praktek tersebut, seperti pukulan bagi dunia kedokteran. Karena kata dia, dengan mencabut ijin praktek, sama saja menghukum dokter tersebut, dengan hukuman penjara diatas 10 tahun, bahkan hukuman penjara seumur hidup.
“Dokter tidak harus masuk penjara cukup saja di cabut ijinnya, karena dokter merupakan bagian dari masyarakat yang krusial, yang sangat kental dibutuhkan oleh masyarakat. Kalau dicabut itu sama saja dengan menghukum 10 tahun lebih, mungkin seumur hidup karena dia tahu memulai praktek lagi orang tidak akan percaya jadi oleh karena ini harus dijaga,” ucapnya.
Dari 182 kasus mall praktek itu, sebanyak 60 kasus dilakukan dokter umum, 49 kasus dilakukan dokter bedah, 33 kasus dilakukan dokter kandungan dan 16 kasus dilakukan dokter spesialis anak. “Siasanya dibawah 10 macam-macam kasus yang dilaporkan,” tuturnya.
Selain itu , ada enam dokter yang diharuskan mengenyam pendidikkan ulang, artinya pengetahuan dokter kurang, sehingga menyebabkan terjadinya kasus mall praktek. “Mereka kurang dalam pendidikkannya, sehingga ilmu yang didapatkan itu kurang dipraktekkan atau terjadi penyimpangan dari standard pelayanan atau penyimpangan dari ilmu yang diberikan, maka dia wajib sekolah lagi dalam bidang tertentu,” ucapnya.
Disamping kasus mall praktek, beberapa kasus lain yang juga ikut menjerat dokter ke ranah pidana, hingga pencabutan ijin praktek diantaranya soal komunikasi dengan pasien, ingkar janji, penelantaran pasien, masalah kompetensi dokter.
“Soal komunikasi ini juga yang sering dilaporkan, misalnya hanya periksa sebentar lalu dia keluar, itu kan gak boleh, karena gak puas orang, itu yang harus diperbaiki, komunikasi efektik dengan pasien, dia harus menjelaskan penyakitnya apa, gejalanya apa, di beri apa, itu harus di operasi atau tidak, jadi waktu kita periksa, harus dijelaskan, sekarang di semua harus jelaskan,” bebernya.
Termasuk soal biaya, juga sering dikeluhkan pasien ataupun masyarakat, karena dokter sering dianggap bohong. “Misalnya sewaktu mau operasi dikatakan semuanya Rp 20 juta, tapi setelah selesai ternyata kwitansi yang di sodorkan Rp 30 juta ini kan juga namanya dianggap dokter ingkar janji,” katanya.
Begitu juga kata Paul, soal tudingan dokter menelantaran pasien, juga menjadi salah satu keluhan yang sering disampaikan masyarakat. “Kadang dokter, ketika pergi hadiri kongres atau apapun tapi tidak memperkenalkan penggantinya, harusnya dokter itu memperkenalkan siapa penggantinya,” paparnya.