Jejak Berdarah Kelasi 1 Jumran di Gunung Kupang

Pembunuhan jurnalis Juwita oleh kekasihnya, personel TNI AL Kelasi I Jumran di Banjarbaru Kalimantan Selatan. Foto istimewa
NewsBalikpapan - Pengadilan Militer Banjarmasin, Banjarbaru, Kamis siang itu (8 Mei 2025), kembali menggelar sidang perkara pembunuhan wartawati muda, Juwita (22). Di ruang sidang bersuhu dingin itu, dua saksi yang merupakan prajurit aktif TNI Angkatan Laut, hadir secara virtual dari Balikpapan. 
Mereka bukan hanya rekan, tapi juga bagian dari kisah rumit di balik kematian tragis sang jurnalis.

Dua nama muncul: Kelasi Satu Vicky Febrian Sakudu dan Kelasi Dua Kardianus Pati Ratu. Vicky adalah rekan seangkatannya terdakwa Kelasi Satu Jumran, sedangkan Kardianus adalah juniornya. Keduanya tak sekadar saksi. Mereka—dalam derajat berbeda—turut terseret dalam labirin peristiwa berdarah yang menyeret institusi militer ke ruang sorotan publik.

Sidang berjalan tegang ketika Kardianus mengungkap bahwa ia meminjamkan KTP-nya kepada Jumran untuk membeli tiket pesawat dari Banjarmasin ke Balikpapan, dua hari setelah pembunuhan. Ia tak tahu untuk apa kartu identitas itu diminta, dan tak sempat bertanya. Alasannya sederhana: takut.

“Tidak berani bertanya. Takut dipukul karena saya junior,” ujar Kardianus dengan suara nyaris bergetar.

Jumran, kata Kardianus, datang ke kamarnya pada 3 Maret, larut malam, setelah lebih dulu menelepon menanyakan posisi. Tanpa banyak basa-basi, ia membuka laci, mengambil dompet, dan menyelipkan KTP itu ke dalam saku. Kartu itu baru dikembalikan tiga minggu kemudian, setelah nama Juwita merebak di pemberitaan.

“Saya baru tahu KTP saya dipakai buat beli tiket pesawat pas dipanggil Pasi Intel,” kata Kardianus.

Sementara Vicky Febrian mengungkap cerita yang lebih mengerikan. Ia tahu niat Jumran jauh sebelum Juwita ditemukan tak bernyawa di pinggir jalan Gunung Kupang, Banjarbaru.

"Dia bilang mau bunuh Juwita karena tidak cinta dan kesal disuruh bertanggung jawab dengan menikahinya,” ungkap Vicky di hadapan majelis hakim.

Vicky mengaku telah menyarankan Jumran untuk menikah saja demi menghindari konsekuensi berat. Tapi saran itu lewat begitu saja.

“Saya kira cuma emosi sesaat,” katanya.

Namun setelah Jumran kembali dari Banjarbaru, tengah malam ia mendatangi Vicky dan menceritakan sesuatu yang mengejutkan: bahwa ia telah membunuh Juwita. Bahkan ia sempat mengatur agar seolah-olah korban meninggal karena kecelakaan tunggal.

“Saya langsung takut. Bingung harus bagaimana,” ujar Vicky, yang kini tengah mendekam di tahanan Denpom Lanal Balikpapan karena perannya membantu membeli tiket pelarian Jumran.

Kepala Oditur Militer Banjarmasin, Letkol Chk Sunandi, mengonfirmasi status tahanan Vicky, yang dianggap turut membantu tindak kejahatan meski tidak terlibat langsung dalam pembunuhan.


Perempuan itu ditemukan tak bernyawa pada Sabtu sore, 22 Maret 2025. Langit Banjarbaru kala itu bersih, kontras dengan kabar duka yang menyesakkan. Juwita tergeletak di tepi jalan, helm masih menempel di kepala. Sepeda motornya tak jauh dari tubuhnya. Tak ada luka menganga. Sekilas tampak seperti korban kecelakaan biasa. Tapi tanda-tanda di tubuhnya bercerita lain: lebam di leher, memar di telinga, dan luka di mata kiri.

Subpraja, kakak Juwita, menolak percaya ini kecelakaan. Bersama keluarga dan rekan media, mereka mendorong agar penyebab kematian diselidiki lebih dalam. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Persiapan Kota Banjarmasin ikut bersuara, menuntut keadilan dan perlindungan bagi jurnalis lapangan.

“Kita bekerja di ruang yang penuh risiko. Jurnalis berhak atas rasa aman,” kata Rendy Tisna, Koordinator AJI.

Kepolisian militer akhirnya menetapkan Jumran sebagai tersangka. Investigasi menunjukkan bahwa Jumran dan Juwita bukan sekadar kenalan—mereka berencana menikah pada Mei 2025. Namun niat itu rupanya sepihak. Di balik rencana bahagia, tersimpan dendam dan penolakan.

“Dia bilang tidak cinta, dan marah karena disuruh bertanggung jawab,” ungkap saksi.

Juwita menjadi korban dari hubungan yang tak setara. Ia berharap kejelasan, sedangkan Jumran menyimpan kekerasan sebagai jalan keluar.

Keluarga korban terus mendesak agar hasil autopsi dibuka ke publik. Bagi mereka, transparansi adalah harga mati. “Apa pun hasilnya, harus dibuka. Ada luka luar atau dalam, semuanya harus terang,” ujar C Oriza Sativa, kuasa hukum keluarga.

Komnas HAM ikut turun tangan. Mereka meminta penyelidikan berbasis ilmu forensik serta perlindungan maksimal bagi saksi.

Sementara itu, rekan-rekan Juwita di dunia jurnalistik menggelar aksi #JusticeForJuwita, menuntut pengusutan tuntas dan hukuman berat bagi pelaku. “Hukum setimpal, bahkan hukuman mati,” kata Susi Anggraini, anggota keluarga Juwita.

Sidang akan dilanjutkan pada 19 Mei 2025. Ahli forensik dr. Mia Yulia Fitriani dijadwalkan hadir untuk mengungkap hasil autopsi Juwita. Selain itu, penyewa mobil yang digunakan Jumran untuk membunuh juga akan dimintai keterangan.

Sementara keluarga dan komunitas jurnalis terus menanti: bukan hanya kebenaran, tetapi juga keadilan-dengan harapan tak ada lagi Juwita berikutnya yang harus meregang nyawa hanya karena mencintai orang yang salah.

Bagikan Berita

WhatsApp
X
Facebook
Print
Telegram

Berita Terkait

Tulis Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *