Sheila mengatakan dalam empat bulan terakhir terjadi penyusutan drastic debit air waduk di Penajam. Semua itu, menurutnya disebabkan keberadaan dua tambang batu bara yang merusak daerah aliran sungai (DAS) di Penajam.
Kondisi nyaris serupa, lanjut Sheila terjadi pula di dusun Berambai Kutai Kartanegara. Sungai sungai setempat sudah tercemar oleh keberadaan tambang batu bara PT Mahakam Sumber Jaya sejak tahun 2005 silam.
“Padahal itu sumber air satu satunya masyarakat suku Dayak Kenyah di Kutai,” paparnya.
Pencemaran aliran sungai terjadi di sungai Ohong dan Nayan Kutai Barat yang terkepung adanya tambang batu bara dan perkebunan kelapa sawit. Di kawasan Kutai Barat terdapat PT Lonsum (London – Sumatera), PT Gunung Bayan Pratama Coal dan PT Munte Waniq Jaya Perkasa.
“Mereka ini yang merusak hutan cadangan air warga kampung Lemponah dan Muara tae serta kampung lain yang dihuni oleh masyarakat adat Benuaq,” ujarnya.
Sheila berpendapat keberadaan tambang batu bara dan perkebunan sawit tidak menyentuh kesejahteraan masyarakat. Kaltim justru sangat tergantung dengan pasokan pangan dari provinsi lain seperti beras, sayuran dan daging.
“Lahan pertanian tiap tahun merosot, tahun 2009-2011 lahan pertanian rakyat yang beralih fungsi jadi tambang dan perkebunan seluas 12 ribu hektar,” tuturnya.
Terjadi defisit pasokan beras Kalimantan Timur sebanyak 19.362 ton. Kebutuhan pasokan beras masyarakat sebanyak 357.662 ton yang hanya mampu terpenuhi 338.260 ton,
Provinsi Kalimantan Timur juga dianggap kurang serius dalam penerapan program pembangunan sector pertanian. Dari anggaran sebesar Rp 10 triliun hanya teralokasi anggaran sebesar Rp 350 miliar atau 35 persen kas Kalimantan Timur.
“Kabupaten Penajam lebih mengenaskan, hanya Rp 35 miliar atau 4 persen dari APBD mereka untuk pertanian tahun 2011 ini,” ujar Sheila.
Namun saat menuntut keadilan, Sheila mengatakan warga justru dihadapkan aparat keamanan hingga preman seperti warga Gunung Kapur dan Rimbawan, di Samarinda Utara. Aparat dan preman dituduh menekan fisik dan psikologis masyarakat.
“Di Berambai, Kutai Kartanegara, 48 warga dayak kenyah, mulai dari perempuan, para tetua adat bahkan anak-anak kecil diangkut paksa dan ditangkap oleh polisi Kukar,” ungkapnya.
Sheila berpendapat hukum saat ini sudah disalah gunakan untuk menekan masyarakat. Aparat justru menggunakan UU No 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Batubara, untuk menangkap warga yang dianggap mengganggu obyek vital nasional.
“Krisis pangan dan tragedy Mesuji bisa saja terjadi di Kaltim jika Gubernur dan seluruh aparat salah urus mengelola sumberdaya sawit maupun batubara,” tegasnya.