...

Redup Biogas Blok Mahakam

NewsBalikpapan –

Warna pipa paralon diameter ¾ inchi ini terlihat memudar semu abu – abu kusam. Beberapa bagian pipa sepanjang 200 meter bahkan memutih dengan rengkahan retak sana – sini.

Pipa paralon di Kelurahan Teluk Pemedas Samboja Kutai Kartanegara (Kukar) Kalimantan Timur (Kaltim) ini bukan jaringan air bersih.

Ini adalah instalasi pipa tua program biogas Total E&P Indonesie (TEPI). Perusahaan minyak gas (migas) meluncurkan corporate social responsibility (CSR) pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) berbahan baku limbah ternak.

Perusahaan asing kini bersalin nama menjadi PT Pertamina Hulu Mahakam (PHM).

“Jaringan pipa – pipa bekas biogas ini masih terpasang di beberapa rumah di sini,” Ketua Kelompok Tani Ternak Sejahtera Teluk Pemedas Asnawi Hatta saat ditemui, Kamis (15/10/2020).

Kelompok tani ternak ini menerima hibah 10 ekor sapi tahun 2014. Programnya lantas dikembangkan menjadi pengelolaan energi biogas kotoran sapi.

Kecamatan Samboja, Muara Jawa, dan Anggana merupakan area ring 1 wilayah kerja eksploitasi migas Mahakam. Kelurahan Teluk Pemedas berjarak 1 kilometer dari instalasi penampungan Stasiun Senipah Peciko South Mahakam (SPS).

Catatan SKK Migas Kalimantan Sulawesi menyebutkan produksinya mencapai 609 MMscfd dan 30.100 BOD.

Lifting produksi migasnya termasuk terbesar di Indonesia.

CSR perusahaan membangun digester biogas, penampungan limbah sapi hingga instalasi pipa ke rumah warga. Program senilai Rp 50 juta ini menampung 12 kubik kotoran sapi untuk produksi biogas.

 “Kami menunjuk anggota kelompok kami yang dianggap mampu mengelola biogas,” papar Asnawi.

Selepas itu produksi biogas berjalan lancar. Asnawi bahkan sempat menikmati gas gratis selama dua tahun. Berjalannya waktu, distribusinya mendadak mandeg.

Jaringan pipanya bocor dan berdampak penurunan tekanan.

 “Keropos pipanya termakan usia. Tekanan gasnya tidak mampu lagi menjangkau rumah saya,” ungkapnya.

Butuh biaya besar mengganti pipa paralon sepanjang 200 meter terhitung jarak lokasi penampungan. Perlu 100 pipa pengganti baru yang harganya bisa mencapai Rp 2 juta.

“Sekarang ini kembali mempergunakan tabung gas ukuran 3 kilogram, sebulan habis Rp 100 ribu,” papar Asnawi yang keberatan membeli sendiri pipa pengganti.

“Andai program jaringan gas (jargas) kota ada di sini, semestinya kami berhak memperoleh program ini dibanding tempat lain,” keluhnya.

Sementara itu, tetangga Asnawi pun menghadapi masalah serupa dalam mengelola biogas. Instalasi biogasnya gagal berproduksi.

 “Produksi biogas di rumah saya malah sama sekali tidak berfungsi,” keluh Suarta yang juga menjadi anggota Kelompok Tani Ternak Sejahtera.

Pria berdarah sunda ini sebenarnya juga penerima hibah sapi. Ia kemudian dibantu membangun instalasi biogas mempergunakan teknik terbaru.

Perangkatnya ringkas dilengkapi fasilitas penampungan gas permanen baja.

“Tapi perangkat penampungan gas dari baja hasilnya tidak maksimal,” ungkap Suarta.

Entah kenapa, produksinya tidak melimpah.

Tekanan gasnya pun mengecewakan.

Akibatnya gas sulit menjangkau rumah – rumah di sekelilingnya.

 “Hanya satu rumah bisa teraliri dibawah, dengan tekanan minimal,” papar Suarta.

Satu – satunya proyek biogas berhasil di Teluk Pemedas dikelola Ahmad Solihin. Ia merupakan penerima pertama program CSR biogas TEPI di tahun 2014.

Solihin selama ini mengurusi produksi dan distribusi biogas ke anggota lain.

“Biogas di sini yang masih memproduksi dengan baik,” ungkapnya.

Solihin mengelola fasilitas biogas memanfaatkan kotoran sapi. TEPI pula yang membangun bungker kotoran ternak plus instalasi jaringan ke rumah warga; Arbain, Asnawi Hatta, dan Solihin.

“TEPI membantu material untuk membangun bunker dan instalasi. Warga mengerjakan sendiri pembangunannya dibantu tenaga ahli TEPI,” tuturnya.

Proses pembuatan biogas terbilang mudah. Solihin hanya perlu memastikan ketersediaan 15 kilogram kotoran sapi dan air di bungker dalam tanah.

Secara alamiah, bungker ini memproduksi biogas yang kemudian disalurkan ke rumah warga.

 “Bungker kapasitas 5 kubik ini mampu memenuhi kebutuhan sehari – hari tiga keluarga. Setiap hari masukan 15 kilogram kotoran sapi dicampur dengan air ke dalam bungker,” ujarnya.

Limbah biogas secara otomatis keluar dari saluran pembuangan. Ampasnya masih bisa dimanfaatkan sebagai pupuk kandang.

Namun dengan berjalannya waktu – kelompok ini mulai kesulitan merawat dan pengembangan penerima manfaat. Jaringan pipanya pun akhirnya rusak termakan usia.

Permasalahan ini diawal cerita menjadi keluhan Asnawi Hatta. Berselang dua tahun setelah peresmian, program biogas mandeg total.

“Sekarang tersisa hanya saya yang masih bisa menikmati biogas. Sisanya sudah tidak berfungsi dengan berbagai permasalahan,” ungkap Solihin.

Tiga kecamatan ring 1 Blok Mahakam menjadi prioritas PHM.

Samboja dan Muara secara khusus menjadi lokasi pengembangan program biogas. Kondisi geografis dan karakter masyarakatnya cocok budi daya ternak sapi, bahan baku biogas.

 “Kalau Anggana areanya mayoritas adalah rawa rawa,” kata Kepala Departemen CSR PHM Elis Fauziah.

Anggana memiliki luas 1.800 kilometer persegi di muara Sungai Mahakam. Mayoritas wilayahnya meliputi delta sungai dengan pulau – pulau kecil di dalamnya.

Penduduknya berprofesi nelayan.

Sedangkan Samboja dan Muara Jawa menjadi pusat populasi berpenduduk 62 ribu jiwa berprofesi petani dan pedagang. Total luas dua kecamatan 1.740 kilometer persegi.

PHM melakukan kajian internal tentang pelaksanaan program CSR di area ring 1 kerja. Dalam waktu bersamaan, perusahaan pun menampung aspirasi sesuai sosial ekonomi masyarakat.

“Tim internal kami yang melakukan kajian sesuai kondisi masyarakat. Kami juga menampung aspirasi dari masyarakat tentang program CSR,” tutur Elis.

Dalam prosesnya, Elis mengakui, pengembangan biogas di Samboja dan Muara Jawa tidak mudah. Karakteristik warga setempat belum familiar dalam budi daya ternak sapi modern.

Selama enam tahun terakhir, perusahaan hanya mampu memasang 4 unit biogas di Teluk Pemedas, Senipah, dan Muara Kembang. Hasilnya, hanya 16 keluarga penerima manfaat sejak program digulirkan.

Jumlahnya merupakan kalkulasi program di masa TEPI dan PHM.

Angkanya bisa jadi lebih rendah dari perkiraan awal.

Elis berdalih bermacam kendala dihadapi menjalankan program.

Ia mencontohkan, kesulitan warga memperoleh kotoran sapi sebagai bahan baku utama produksi biogas. Mayoritas warga di sini berternak secara tradisional dengan membiarkan ternak berkeliaran.

“Bahan baku kotoran sapi sulit terkumpul,” ungkap Elis.

Permasalahan kian runyam dengan minimnya kekompakan internal kelompok tani. Dalam berbagai kasus, kekompakannya terganggu faktor non teknis seperti perbedaan politik diantara anggota.

Mereka enggan kerja sama mengembangkan biogas.

“Kalau di Kukar masih ada pemilihan kepala desa (pilkades). Masing – masing punya pendukung. Kalau pilihannya beda, mereka tidak mau lagi kerja sama,” keluh tutur Elis.

Sehubungan itu, Elis berkesimpulan ketergantungan warga atas program digulirkan PHM. Menurutnya, CSR perusahaan hanya sebagai pemicu kemandirian dan kemajuan kelompok masyarakat.

 “Mungkin karena karakter masyarakat pesisir yang terbiasa mengambil sesuatu sudah jadi dari laut. Mereka tidak terbiasa harus melalui proses dahulu,” ujar Elis.

“Berbeda dengan di Jawa yang sukses mengelola biogas,” imbuhnya membandingkan.

Berdasarkan evaluasi ini, Elis pun mencoba menawarkan opsi lain. Energi bersih terbarukan sesuai karakter geografis Kalimantan; solar cell dan bayu.

Energi surya akhirnya dipilih mengingat Kaltim menjadi perlintasan garis khatulistiwa.

Program dilaksanakan di 65 rumah warga Tanjung Pimping Desa Tani Baru Anggana dan 49 rumah warga Muara Pegah Muara Kembang Muara Jawa.

“Belum ada respon dari biogas sehingga ditawarkan alternatif lain yakni program solar cell ini,” ungkap Elis.

Sementara itu, pakar Universitas Gajah Mada (UGM) Yogjakarta memaklumi munculnya dinamika di lapangan dalam pemanfaatan EBT. Menurutnya, karakter masyarakat di Indonesia sudah terbiasa memanfaatkan energi fosil.

“Perlu shock culture di dalam masyarakat kita,” ujar Kepala Pusat Studi Energi UGM Deendarlianto.

Pola pikir masyarakat Indonesia, lanjut Deendarlianto, sudah terlanjur melekat persepsi tentang keunggulan energi fosil. Seperti keuntungan jangka pendek; murah, gampang diperoleh, dan berkekuatan daya tinggi.

 “Masyarakat tidak menyadari dibalik energi fosil ini ada dampak lingkungan yang akan terjadi,” ujarnya.

Ini menjadi tugas Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal mensosialisasikan kegunaan EBT di remote area.

“Lewat forum diskusi maupun kerjasama swasta,” ujar Deendarlianto.

Deendarlianto menyatakan, kampanye EBT harus menyentuh pola pikir masyarakat tentang arti penting dan kegunaannya. Strategi pendekatan sosial perlu dilakukan untuk memetakan kondisi masyarakat.

“Kuncinya adalah duduk bersama demi keberhasilan program. Posisi semua unsur adalah setara dan tidak ada merasa paling tinggi dibanding lainnya,” ujar Deendarlianto.

Pemetaan sosial menjadi dasar pengembangan kelembagaan di masyarakat. Kelembagaan untuk memastikan manfaat, keberlangsungan program dan stimulan ekonomi.

“Sehingga kelembagaan ini yang membuat masyarakat mandiri tidak tergantung lagi dalam menjaga keberlangsungan program,” papar Deendarlianto.

Puncaknya adalah pelaksanaan teknis program EBT melibatkan unsur masyarakat. Tugas lapangan lebih mudah saat perencanaan tertata matang.

 “Pemantauan di lapangan terus menerus dilakukan agar program berjalan maksimal,” ungkap  Deendarlianto.

Kaitan program CSR, Deendarlianto menyarankan, perusahaan menggandeng pihak kampus kaitan pemetaan kondisi sosial masyarakat. Menurutnya, akademisi memiliki sumber daya manusia (SDM) kompeten dalam pelbagai kajian ilmu.

Tri Darma Perguruan Tinggi mengamanatkan peran kampus; pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, serta pengabdian pada masyarakat. Selama ini, kampus sudah berpengalaman melaksanakan program pengabdian.

Memanfaatkan dana internal universitas, perusahaan, pemerintah, hingga hibah luar negeri.

“Nanti bisa disinerjikan bersama diantara perusahaan, kampus, pemda, dan masyarakat. Kaltim pastinya ada kampus yang berkualifikasi seperti itu,” tegas Deendarlianto.

Deendarlianto mencontohkan pengembangan EBT solar cell di Tanjung Jabung Timur Jambi dan Solok Selatan Sumatera Barat (Sumbar). Program kerjasama US Agency for International Development (USAID) dan UGM mendorong pemanfaatan EBT daerah terpencil.

“Total pelaksanaan program memakan waktu 3 tahun,” ungkapnya.

UGM menerjunkan tim besar  pakar lintas kajian ilmu; sosial, budaya, hukum, ekonomi, hingga teknik. Hasil survey ini lantas dianalisa di kampus berdasarkan teori keilmuan dan pengalaman pakar.

“Kami desain rencana program agar memudahkan tim teknis melaksanakan implementasi lapangan,” tutur Deendarlianto.

Demikian pula pengembangan EBT fasilitas publik di Kepulauan Karimunjawa Jawa Tengah (Jateng). Masyarakat diajak bersama – sama secara mandiri mengelola dan merawat fasilitas energi solar cell.

“Programnya mampu mendorong masyarakat mandiri mengelola energi solar cell tanpa bantuan pihak lain,” tegasnya.

Strategi pendekatan sosial pun dipakai dalam program reboisasi lahan kritis di Desa Banaran Gunung Kidul. Program CSR BUMN dan UGM ini berhasil menjadikannya sebagai lokasi hutan wisata Wanagama popular hingga kini.

“Totalnya kerjasama UGM dengan pihak lain lumayan banyak sehingga tidak mungkin menyebutkan satu – persatu,” kata Deendarlianto.

Bagikan Berita

WhatsApp
X
Facebook
Print
Telegram

Berita Terkait

Tulis Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *