Wartawan Kalsel Dihukum 3 Bulan 15 Hari Penjara
10 August 2020Kisah Anak Eks Tapol PKI Argosari
21 August 2020
NewsBalikpapan –
Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Agus Kossay bergeming dengan tuntutannya pasca selesainya vonis hukumannya. Aktivis Papua ini tetap teguh memperjuangkan kemerdekaan bagi masyarakat Papua.
“Kami tetap berjuang bagi kebebasan seluruh masyarakat Papua,” kata Agus sesaat keluar dari Rumah Tahanan Balikpapan Kalimantan Timur (Kaltim), Rabu (12/8/2020).
Pengadilan Negeri (PN) Balikpapan menjatuhkan vonis makar bagi aktivis dan mahasiswa buntut kerusuhan Papua. Para mahasiswa dijatuhi hukuman 10 bulan penjara; Ferry Kombo, Hengki Hilapok dari Universitas Cendrawasih dan Hengki Hilapok serta Irwanus Uropmabin dari Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ).
Mahasiswa bebas pertengahan bulan Juli lalu.
Sedangkan aktivis hak asasi manusia (HAM) Papua memperoleh 11 bulan penjara; Buchtar Tabuni dari United Liberation Movemnet for Papua serta Stevanus Itlay dan Agus Kossay dari KNPB.
Agus Kossay merupakan tahanan politik Papua paling terakhir memperoleh kebebasan. Buchtar dan Stevanus sudah terlebih dahulu bebas.
“Rekan rekan yang lain sudah bebas, saya merupakan tahanan terakhir yang keluar,” ungkapnya.
Agus mengatakan, hukuman penjara merupakan resiko aktivis dalam memperjuangkan hak kebebasan Papua. Sedikitpun, ia tidak merasa gentar melawan tekanan dilancarkan aparat Pemerintah Indonesia.
“Bagi saya, penjara hanyalah hotel gratis. Tidak akan menyurutkan perjuangan kami,” tegasnya.
Para aktivis sebenarnya hanya menuntut hak berdaulat sesuai sejarah masa lalu masyarakat Papua. Menurut Agus, masyarakat Papua sebenarnya sudah memperoleh kebebasan sebelum dicaplok pemerintah Indonesia.
“Kami hanya menuntut sesuai sejarah Papua saja,” ungkapnya.
Disisi lain, Pulau Papua pun menyimpan kekayaan sumber daya alam (SDA) melimpah; tambang emas, hutan dan produksi susu. Potensi SDA menjadi modal kuat bagi masyarakat Papua untuk menentukan nasib sendiri.
“Papua punya kekayaan melimpah seperti emas, hutan, susu dan lainnya. Kami akan mampu berdiri sendiri,” tegasnya.
Saat ini, masyarakat kian kecewa menyusul rencana pemerintah mencabut kebijakan otonomi khusus (otsus) Papua. Apalagi kebijakan ini tidak sepenuhnya mampu meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat Papua.
“Kebijakan otsus untuk siapa ? Apakah memberikan kesejahteraan bagi masyarakat Papua ? Faktanya tidak demikian,” ungkap Agus.
Sehubungan itu, Agus meminta Pemerintah Indonesia mengabulkan tuntutan pemberian kebebasan bagi Papua dalam menentukan nasibnya. Demikian pun penarikan pengerahan personil TNI/Polri memburu kelompok perlawanan Papua.
“Akan terus jatuh korban dari tentara, polisi dan masyarakat Papua. Kami tidak dalam rangka melawan rakyat Indonesia, hanya melawan sistim yang mengekang kebebasan Papua,” sesalnya.
Meskipun begitu, Agus mengakui perjuangannya tidak sepenuhnya memperoleh dukungan masyarakat Papua. Menurutnya ada pula kelompok Papua yang berupaya mengganjal perjuangan mereka.
“Memang ada pula yang tidak mendukung. Ini menjadi tugas kami untuk memberikan pemahaman bagi masyarakat semua,” tuturnya.
Sebulan sebelumnya, para mahasiswa Papua pun sudah bersuara untuk lebih focus menyelesaikan pendidikan akademisnya. Perwakilan mahasiswa Papua, Ferry Kombo enggan berkomentar soal perjuangan kebebasan Papua.
“Kami belum bisa berbicara soal itu, focus pada pendidikan dahulu,” katanya saat di wawancarai wartawan.
Ferry mengakui pendidikan para mahasiwa sempat terganggu permasalahan penahanan di Rutan Balikpapan. Mayoritas diantara mahasiswa sudah memasuki fase akhir wisuda menuju jenjang sarjana.
“Tahun ini semuanya akan wisuda menjadi sarjana, tinggal mengurus administrasi saja,” ujarnya.
Selama di Balikpapan, mahasiwa Papua sempat kehabisan bekal biaya pulang. Mereka menuntut negara memulangkan ke Papua.
Soal ini, kuasa hukum Ni Nyoman Suratminingsih memastikan pihaknya sudah memulangkan empat mahasiswa kembali ke Papua. Sisanya adalah tiga aktivis HAM yang rencananya dipulangkan pula secara bersamaan.
“Sementara ini ditempatkan di tempat aman dulu sebelum pulang ke Papua,” ujarnya.
Tim kuasa hukum masih bertanggung jawab dalam menjamin keselamatan klien selama di Balikpapan. Mereka pun memastikan pemulangan sesuai prosedur penanggulangan wabah covid 19.
“Tentunya harus sesuai prosedur pemerintah di masa covid 19,” tegasnya.
Sementara itu, Kepala Rutan Balikpapan Sopiana menyatakan warga binaan kemasyarakatan (WBK) Papua memperoleh perlakuan sama. Ketujuh tahanan politik (tapol) ini ditempatkan di ruang sel umum bersama napi kasus pidana lain.
“Tidak ada perlakuan istimewa dan ditempatkan di sel umum dalam satu ruangan, ” ungkapnya.
Para tapol Papua ini menjalani rutinitas selama berada di Rutan Balikpapan. Mereka pun memperoleh kesempatan olahraga, istirahat dan dikunjungi tamu.
“Kami juga wajib memberikan hak kenyamanan dan keselamatan selama disini,” ujar Sopiana.
Para aktivis dan mahasiswa Papua terjerat pidana menyusul kerusuhan massa di Jayapura. Kala itu, aktivis menggelar demonstrasi 10 ribu massa memprotes hinaan rasis dialami mahasiswa Papua di Surabaya.
Namun sayangnya, demo damai berujung rusuh merusak fasilitas publik dan rumah warga.
Polda Papua pun menuduh aksinya ditunggangi KNPB. Organisasi ini getol memperjuangkan referendum kemerdekaan Papua Barat.