Warga Dayak Kutai Tolak Perusahaan Tambang

Igo mengatakan izin lokasi PT Borneo masuk dalam wilayah sengketa antara kampung Muara Tae Kecamatan Jempang dengan kampung Muara Ponak Kecamatan Siluq Ngurai. Sengketa tapal batas wilayah antar kedua suku ini telah berlangsung sejak tahun 1991 silam.

Bentrokan antar kampung semakin meningkat hingga terjadi bentrokan fisik antara warga. Tanpa sepengetahuan warga Muara Tae, menurutnya Kampung Muara Ponak disebut secara sepihak menjual tanah adat warisan leluhur ini kepada PT Borneo.

“Perusahaan tambang ini dua kali melakukan penggusuran warga Kampung Muara Tae meskipun telah dihentikan oleh warga kampung muara tae untuk menunggu penyelesaian tapal batas kampung selesai,” ungkap Igo.

Meskipun sempat dicegah, kata Igo penggusuran perusahaan terlanjur merusak daerah sumber mata air/hulu sungai Nayan. Sungai ini menjadi sumber satu satunya konsumsi air bersih bagi masyarakat Kampung Muara Tae.

Warga Muara Tae juga menolak surat keputusan Bupati Kutai Barat yang menetapkan garis batas antara Kampung Muara Ponaq dengan Muara Tae. Penetapan garis batas kedua kampung ini tanpa melibatkan para sesepuh warga Muara Tae.

Untuk mencegah membesarnya konflik, Igo meminta BPN menghentikan proses penerbitan HGU PT Borneo. Kebijakan ini untuk mencegah konflik antar warga dan membantu proses penyelesaian sengketa tapal batas kampung.

Sikap warga Kampung Muara Tae sudah disampaikan lewat surat pada Kepala BPN Kaltim, Bupati Kutai Barat, Gubernur Kalimantan Timur, AMAN dan 7 TELAPAK Indonesia.

Akhir 2011 silam, warga Muara Tae juga menentang masuknya perusahaan kebun sawit, PT Munte Waniq Jaya. Perusahaan ini dituding menyerobot 638 hektare lahan adat Suku Dayak Banuaq di Jempang. Perusahaan ini disebut menguasai lahan masyarakat tanpa persetujuan resmi para tetua Suku Dayak Banuaq.

Modus yang dipakai perusahaan dengan memanfaatkan konflik penentuan tapal batas kampung yang belum selesai antara Muara Tae dengan Muara Ponaq. Perusahaan mengklaim telah mengganti rugi tanah warga sebesar Rp 445 juta pada warga Muara Ponaq.

Sejak tahun 1970-an, kawasan hutan adat Dayak Banuaq sudah menjadi incaran sejumlah perusahaan kayu, perkebunan, hingga pertambangan batu bara. Perusahaan tersebut sudah menguasai 50 persen kawasan hutan adat Dayak Banuaq yang dahulu seluas 5 ribu hektare.

Penggusuran kawasan hutan adat dipastikan menyengsarakan sedikitnya 200 warga Dayak Banuaq yang sepenuhnya menggantungkan mata pencarian di hutan tersebut. Warga setempat siap mempertahankan kepemilikan area hutan adatnya meski harus berhadapan dengan aparat keamanan serta PT Munte.

 

Berita Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *