Diakui Syahril, selagi muda ia kerap lupa diri melakukan berbagai tindakan maksiat yang saat itu terasa begitu menyenangkan.
“Waktu muda memang saya bergelimang kehidupan anak muda. berkelahi, mencuri, berjudi dan mabuk. Saya memang bergaulan pada lingkungan preman” kenangnya.
Tetapi itu semua adalah masa lalu, bahkan ia bangga pernah jadi anak “nakal”, karena hal ini membuatnya kaya akan pengalaman dalam menghadapi hidup. Ketua Pemuda Pancasila Balikpapan masih terngiang kejadian menarik yang tidak pernah ia lupakan dalam hidupnya, ketika itu ia berusia usia sekitar 17-18 tahun.
Di usianya yang masih teramat muda, Syahrir nekat dan berani mencuri ikan ditambak. Malang tidak dapat ditolak, ia ketahuan oleh sang pemilik tambak. Tak anyal lagi Syahril harus mendapatkan berbagai hadiah bogem mentah plus tendangan selama di arak warga sepanjang 1 kilometer.
“Itu kenakalan yang sampai hari ini saya ingat terus,” kenangnya.
Bahkan disaat anak seusianya mengeyam pendidikan di Sekolah Menengah Pertama, Syahril pun mendapat pendidikan tambahan berupa penjara sebanyak dua kali lantaran ia membunuh. Tapi itu terpaksa dilakukan sebagai rasa solidaritas membela temannya.
Saat itu, Syahrir masih terbenam dengan kebiasan buruknya seperti minum-minuman keras, ngobat, berjudi, dan menjadi preman. Kebiasan yang akhirnya tetap dijalaninya saat itu meskipun sudah berkeluarga serta memiliki dua orang anak. Lalu apa sebenarnya yang membuat pria kelahiran Majenne 23 Juni 1955 ia berubah 180 derajat ? Ungkapan buah tidak jatuh jauh dari pohonnya, mungkin inilah yang membuatnya tersadar. Karena biar bagaimana, bapak dari Yaser Arafat dan Siti Audibah ternyata adalah anak turun seorang kyai.
Syahrir mengaku tetap merasa malu tiap kali pulang dari bermaksiat. Ia merasa wajah sang ayah senantiasa terus terbayang bayang saat selesai melakukan maksiat. Tentunya, ayahnya akan merasa sedih melihat prilaku anaknya yang seperti lupa akan nasihat yang selalu diberikan waktu ia kecil. Hampir tiap saat Syahril berkelahi dengan hati nuraninya.
”Apa kata orang, bapaknya kyai anaknya preman” kenang suami dari Hj Fitriah Syahril. Belum lagi ketakutan terhadap anaknya, kalau-kalau mereka mengikuti jejak sang bapak.
Itulah yang menjadikan dia metamorphosis seperti ulat yang menjadi kepompong dan menjelma menjadi kupu-kupu. Perubahan pola hidup Syahrir berubah sejak 15 tahun silam, ketika itu untuk pertama kalinya memberanikan diri untuk membuka usaha. Salah seorang sahabatnya almarhum Nuh memberikan motivasi agar tetap semangat kendati modal uang tidak ada dalam gengaman.
“Jangan putus asa meski tak miliki uang bukan berarti tak jalan untuk usaha”,tuturnya.
Lewat jasa Nuhlah dan Asin, sahabat sahabat Syahrir – berdirilah PT Anugerah Jaya yang bergerak bidang kontraktor pembangunan. Mereka ini pula yang meminjamkan modal untuk membeli sebuah mesin percetakan yang dipesan dari kota Surabaya Jawa Timur.
Bermuara dari itu semua – Syahrir makin terpacu untuk mengurus usaha bisnisnya. Sudah tidak ada lagi berbagai tindakan maksiat yang dulu dijalaninya. Bahkan selain menjadi pemilik, ia tidak segan segan mengerjakan sendiri seluruh pesanan itu bersama tiga karyawan. Bisnis percetakannya ini mendapat order dari sejumlah bank dan perusahaan dengan nilai order awal sebesar Rp 60 jutaan. Usaha pertama yang digelutinya makin bertambah pesanan sehingga jumlah karyawan bertambah menjadi 6 hingga 10 orang.
Empat tahun sudah berlalu, bisnis usaha milik Syahrir makin berkembang dengan pesat. Ketua Umum Persiba Balikpapan ini kemudian mencoba usaha di bidang konstruksi pembangunan. PT Istraco merupakan perusahaan pinjaman yang dipakai sebagai alat mengikuti proses tender kontraktor proyek milik pemerintah daerah. Kerabat baiknya bernama Djarot yang kala itu meminjamkan perseroan terbatas ini bernama PT Istraco.
“Saya dipinjam nama PT itu dari Djarot. Kebetulan yang bermain sebagai kontraktor belum banyak,” kenangnya.
Syahrir menangani proyek pertama sebagai kontraktor dengan nilai Rp 1,4 miliar. Inipun bukan hal mudah, karena saat itu ditawari Rp 400 juta untuk menjual proyek itu kepada orang yang lain. Sementara keuntungan yang saya peroleh hanya Rp125 juta.
“Kalau itu saya jual sudah untung besar itu, tapi saya katakan tidak. Saya kerjakan proyek itu, pokoknya kerja dan selesaikan proyek jalan di kilometer 5,” ucapnya.
Keuletan, kejujuran, dan sikap mengayomi membuat usahanya makin melejit. Banyak sudah proyek yang sudah diselesaikan untuk infrastruktur kota ini termasuk proyek lainya. Bahkan PT Anugrah yang kini dipegang Siti Audibah, telah memiliki grade 7 yakni perusahaan yang dapat mengukuti lelang proyek secara nasional.
Gemilang usahanya ini, tidak lepas dari peran karyawan yang selalu dianggap keluarga. Syahrirpun bersama istrinya ikut membantu karyawan laki-laki untuk membiayai pernikahan hingga 80 persen bahkan hampir seluruhnya.
“Agar dia (karyawanya) saat memulai membentuk rumah tangga tidak dibebani hutang sehingga di rumah dan di kantor bisa melakukan pekerjaan dengan senang dan ringan,” katanya.
Kini dari usahanya itu, H.Syahril M Taher dapat dikatakan sukses bahkan tak berlebihan jika disebut miliyader. Tapi bukanlah Syahril namanya jika ia bangga dengan sebutan itu. Malah ia mengerenyit dahi menolak julukan itu. Syahril dulu dan kini tetaplah sama. Ia tetap menjadi pribadi yang sederhana, ia mempunyai prinsip hidup yang berbeda dengan orang lain.
“Saya tidak mau dihargai tapi saya punya kewajiban untuk menghargai orang dan berkerjalah dengan baik dan benar untuk orang lain,” tegasnya.
Syahrir sempat terpilih sebagai anggota DPRD Balikpapan Kalimantan Timur masa periode 2004 – 2009 dari Partai Patriot. Banyak hal yang telah dia lakukan untuk kota ini melalui pengalaman, kemampuan dan empatinya terhadap hal-hal social. Nama Syahril makin dikenal di kota minyak lewat kiprahnya di Balikpapan dan prestasi klub dipimpinnya Persiba yang kerap disebut tim ‘Beruang Madu’.
Selama 11 tahun lamanya hingga sekarang, Ia masih menyayangi Persiba. Berawal ketika ia menjadi Kepala Keuangan mengantikan Almarhum Mulyono. Bukan perkara gampang memimpin tim yang kini ikut dalam kompetisi elit Liga Super Indonesia. Tergabung bersama Persisam Putra Samarinda dan Mitra Kukar – Persiba mewakili klub klub asal Bumi Etam. Sudah banyak pengorbanan diberikan dalam mengurus Persiba : dari pengorbanan materi hingga kelapangan hati.
”Kalau Persiba menang senang rasanya, tapi kalau kalah ya harus siap dimaki-maki”ungkap Syahril tertawa.
Prestasi yang ditorehkannya kian mengangkat namanya ke tampuk bola nasional. Tidak mengherankan, sejak 2011 hingga sekarang, warga kampung baru ini dipercaya untuk mengelola Indonesia Super League. Termasuk ditunjuk sebagai Direktur Utama PT Liga Indonesia sebagai pelaksana kompetisi LSI.
Suatu amanah yang harus dijaga dan diselesaikanya sebagai seorang pencinta bola.
“Menjadi pemimpin memang dituntut untuk berani berkorban. Kalau untuk mencari uang disini ngak ada, tapi justru sebaliknya harus kita berani berkorban,” tandasnya.
Baginya, hasil dan kepercayaan yang diperolehnya saat ini, bukan diperoleh dengan mudah. Perlu kesungguhan, kerja keras, ketulusan, kesabaran dan kejujuran serta keberanian. Iapun senang jika orang yang berada disekitarnya bisa jauh lebih berhasil dan mandiri.
“Tentunya harus dengan kejujuran. Walau susah, kejujuran mahal harganya. Banyak-banyaklah berbuat baik sebab anda akan lebih teman dan relasi atas kebaikan itu,” pesanya.
Kegiatan yang dijalani selain mengurusi sepakbola Persiba dan ISL, waktu lengang kerap digunakan untuk berkumpul dengan keluarga terutama dengan dua cucu kesayangannya Muhammad Pawas Arafat 1,6 tahun dan Muhammad Fahmi Kamil yang baru menginjak beberapa bulan umurnya.
“Cucu itu, luar biasa membuat kita senang, kadang saya kesana (Jakarta) atau anak dan cucu kumpul dirumah ini,” katanya.
Syahril selalu mengenang rumah peninggalan orangtuanya di Gang Aman, Kampung Baru. Di rumah inilah, ia membesarkan dua anaknya yakni Yaser Arafat(28) dan Siti Audibah (27). Keduanya kini telah mengenyam pendidikan tinggi yang membanggakan. Yaser sekolah islam selama 6 tahun di Ulaun Ulujami Jakarta, dan pendidikan S1 di Irak dan S2 di Auckland Selandia baru dibidang bisnis. Sedangkan Siti Audibah adalah lulusan S1 di Malaysia bidang marketing.
Rumah sederhana namun asri inipun sempat banyak ditempati orang dari suku berbeda. Rumah baginya tempat terpenting memberikan pijakan pondasi pendidikan agama dan social bagi buah hatinya. Kini bersama istri Hj Fitriah yang tercatat sebagai anggota DPRD Balikpapan masa periode 2009 – 2014 dan putri semata wayang Siti Audibah tetap memilih tinggal dirumah yang membesarkan dan rumah tempat penggembelngan mental, spiritual.